BMKG: Waspada Terjangan Bencana Hidrometeorologi Basah dan Kering di 2023

:


Oleh Dian Thenniarti, Rabu, 19 Oktober 2022 | 10:31 WIB - Redaktur: Untung S - 696


Jakarta, InfoPublik - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan Pandangan Iklim 2023 (Climate Outlook 2023), bahwa sepanjang 2023 gangguan iklim dari Samudra Pasifik yaitu ENSO diprakirakan akan berada pada fase netral, tidak terjadi La Nina yang merupakan pemicu anomali iklim basah maupun El Nino yang merupakan pemicu anomali iklim kering.

Demikian juga dengan fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) yang merupakan gangguan iklim dari Samudra Hindia, diprediksi akan berada pada fase netral pada 2023.

Berdasarkan hasil monitoring dan prediksi BMKG, kondisi suhu muka laut di wilayah Indonesia pada September hingga November 2022 dalam kondisi hangat, kemudian diprediksi akan menurun menuju kondisi normal mulai Desember 2022 hingga Mei 2023.

Namun, karena kompleks dan labil atau dinamisnya kondisi atmosfer dan interaksinya dengan samudra/lautan di wilayah kepulauan Indonesia, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati tetap mewanti-wanti semua pihak untuk bersiap menghadapi terjangan bencana hidrometeorologi akibat tingginya curah hujan tahunan 2023 yang diprakirakan melebihi rata-ratanya atau melebihi batas normalnya di sebagian wilayah Indonesia dan bahkan juga tetap perlu waspada dan siaga terhadap peningkatan potensi kekeringan dan karhutla di beberapa wilayah rawan.

"Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, masyarakat dan seluruh pihak terkait harus segera melakukan mitigasi dan langkah antisipatif terhadap potensi jumlah curah hujan tahunan 2023 yang diprediksi berpotensi melebihi rata-ratanya, yang dapat memicu bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. Semua perlu dalam kondisi siaga dan waspada," ucap Dwikorita sebagaimana dikutip InfoPublik pada Rabu (19/10/2022).

Bahkan, kewaspadaan dan kesiapsiagaan perlu pula ditingkatkan terhadap peningkatan potensi kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sebagian wilayah Indonesia.

"Pemerintah Pusat maupun Daerah juga harus tetap terus meningkatkan optimalisasi fungsi infrastruktur sumber daya air pada wilayah urban atau yang rentan terhadap banjir, seperti penyiapan kapasitas yang memadai pada sistem drainase, sistem peresapan dan tampungan air, agar secara optimal dapat mencegah terjadinya banjir," ujar Dwikorita.

Selain itu, juga perlu dipastikan keandalan operasional waduk, embung, kolam retensi, dan penyimpanan air buatan lainnya untuk pengelolaan curah hujan tinggi saat musim hujan dan penggunaannya di saat musim kemarau.

Lebih lanjut Dwikorita menjelaskan, awal musim penghujan sendiri sudah dimulai sejak September 2022. Sedangkan puncak musim penghujan diprediksi terjadi pada Desember 2022 dan Januari 2023. Meski demikian, beberapa daerah sudah mengalami banjir seperti Bali, Aceh dan pesisir selatan Pulau Jawa.

Dipaparkan dia, berdasarkan Climate Outlook 2023 yang diterbitkan BMKG, beberapa wilayah yang diprediksikan berpotensi mendapatkan curah hujan tahunan yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 2.500 mm/tahun, terjadi di wilayah Sumatera utamanya sekitar pegunungan Bukit Barisan, Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Sumatera Selatan (Sumsel), sebagian Banten, Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), sebagian besar Kalimantan, sebagian Sulawesi Barat (Sulbar), sebagian besar Sulawesi Selatan (Sulsel) dan sebagian besar Papua.

Adapun daerah yang diprediksikan dapat mengalami hujan tahunan di atas normal adalah sebagian kecil Jambi bagian selatan, sebagian kecil Jawa Barat (Jabar) bagian utara, sebagian kecil Jawa Timur (Jatim) bagian timur, sebagian kecil Kalimantan Timur (Kaltim) bagian selatan, sebagian kecil Bali bagian utara, sebagian Nusa Tenggara Barat (NTB) dan sebagian kecil Sulawesi Tengah (Sulteng) bagian timur.

"Masyarakat yang tinggal di bantaran atau lembah sungai harus betul-betul waspada akan terjadinya banjir maupun banjir bandang. Demikian juga dengan mereka yang tinggal di daerah perbukitan, karena disaat hujan lebat apalagi sampai berjam-jam kemungkinan terjadinya tanah longsor pun semakin besar. Kenali tanda-tanda akan terjadinya tanah longsor ataupun banjir dan banjir bandang," imbuhnya.

Selain itu, lanjut Dwikorita, Pemerintah, semua pihak terkait, dan masyarakat juga perlu mewaspadai potensi bencana hidrometeorologi kering di sejumlah wilayah Indonesia, akibat curah hujan di bawah normal yang dapat memicu kekeringan dan dampak lanjutannya berupa kebakaran hutan dan lahan.

Daerah yang diprediksikan dapat mengalami hujan tahunan di bawah normal adalah sebagian kecil Papua Barat bagian timur dan sebagian kecil Papua bagian utara.

Sedangkan, wilayah yang berpotensi mengalami kekeringan dan kebakaran lahan dan hutan selama periode kemarau yang normal pada 2023 umumnya terjadi di wilayah Riau, Sumatera Selatan (Sumsel), Bangka Belitung (Babel), sebagian Kalimantan khususnya bagian barat, tengah dan selatan, serta sebagian Sulawesi Selatan (Sulsel), Jawa Barat (Jabar) bagian utara, Jawa Tengah (Jateng) bagian selatan, Jawa Timur (Jatim) bagian timur, Bali Utara, sebagian Nusa Tenggara Barat (NTB), serta Nusa Tenggara Timur (NTT).

Semua pihak juga perlu mewaspadai potensi kebakaran hutan dan lahan pada 2023 yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2020, 2021 maupun 2022 yang kemaraunya bersifat basah," terangnya.

Sementara itu, Plt. Deputi Klimatologi, Dodo Gunawan, menyampaikan bahwa suhu pada 2023 diprediksi lebih hangat dibanding rata-ratanya. Meski demikian, kemungkinan terjadinya fenomena gelombang panas (heatwave) di wilayah Indonesia sangat kecil.

"Hal itu dikarenakan wilayah Indonesia dikelilingi oleh lautan yang lebih luas dari luas daratan, dan memiliki kelembaban udara tinggi yang dapat berperan sebagai 'radiator' atau pendingin, sehingga sangat sulit terjadi heatwave di wilayah kepulauan Indonesia," jelas Dodo Gunawan.

Gelombang panas merupakan fenomena aliran udara panas yang berkepanjangan selama lima hari atau lebih secara berturut-turut, dimana suhu maksimum harian lebih tinggi dari suhu maksimum rata-rata hingga 5°C atau lebih.

Fenomena tersebut terjadi karena adanya udara panas yang terperangkap di suatu wilayah, akibat adanya anomali dinamika atmosfer yang mengakibatkan aliran udara tidak bergerak dalam skala yang luas.

Selanjutnya, Dodo Gunawan, juga mengingatkan untuk mewaspadai munculnya berbagai penyakit selama musim penghujan. Mengingat, banyaknya genangan air, perubahan suhu lingkungan yang drastis dapat memicu dan membuat daya tahan tubuh seseorang lebih rentan terserang berbagai penyakit, seperti influenza, demam berdarah, diare, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), hingga leptospirosis akibat banjir.

Foto: Istimewa