Kurikulum Merdeka, Membangun Potensi Siswa sesuai Fitrahnya

:


Oleh G. Suranto, Jumat, 18 Februari 2022 | 18:45 WIB - Redaktur: Untung S - 464


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pekan lalu telah meluncurkan Merdeka Belajar Episode Kelima belas: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar.

Kurikulum Merdeka diharapkan menjadi jawaban atas krisis pembelajaran yang semakin bertambah akibat pandemi COVID-19 yang menyebabkan hilangnya pembelajaran (learning loss) dan meningkatnya kesenjangan pendidikan.

Namun, lebih dari itu, esensi Kurikulum Merdeka itu sendiri adalah menciptakan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah keunikannya masing-masing.

Pelaksana tugas Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Plt. Kapuskurjar), Zulfikri Anas, dalam Silaturahmi Merdeka Belajar yang bertajuk “Wujudkan Pelajar Pancasila melalui Kurikulum Merdeka” yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemendikbud RI, Kamis (17/2) menyampaikan, karena setiap manusia tidak ada produk gagal dari Tuhan, dan setiap manusia punya keistimewaan dan punya ‘ruang’ masing-masing yang disediakan secara fitrah. Dan tugas kita adalah membantu anak menemukan ‘ruang’ yang sudah disediakan dalam kehidupan. Sehingga tidak ada anak yang tidak punya tempat dalam kehidupan.

“Sebelumnya, para guru kalau mendengar kata kurikulum, itu yang terlintas adalah administrasi rumit, bertele-tele, belenggu, dan seolah-olah tidak ada alternatif, semua anak dapat materi sama dengan cara sama, pengalaman belajar dan sumber belajar yang sama, penilaian yang sama, sehingga mungkin hanya mengakomodasi sebagian kecil anak yang cocok dengan cara seperti itu,” kata  Zulfikri, seperti dikutip dalam rilis Kemendikbudristek di Jakarta, Jumat (18/2/2022).

“Kurikulum adalah sebuah proses, iklim, suasana, budaya belajar yang memanusiakan manusia. Kita harus lihat kurikulum dari situ. Sehingga, tidak hanya kemampuan (skills) atau pengetahuan siswa saja yang dikedepankan oleh guru. Mari para guru kita bergerak bersama menyentuh hati peserta didik kita,” ungkap Zulfikri.

Oleh karena itu, dalam Kurikulum Merdeka, guru diberi kebebasan untuk memilih format, pengalaman, dan materi esensial yang cocok untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan dari sisi siswa, mereka punya ruang seluas mungkin untuk mengeksplor keunikan dirinya masing-masing. “Jadi kalau dulu orang bilang biasanya ganti menteri ganti kurikulum, tapi ini sekarang ganti anak ganti kurikulum. Jadi semua anak punya ‘kurikulum’ sendiri-sendiri sebetulnya,” tambah dia.

Lebih lanjut, Zukfikri menjelaskan cara mengimplementasikan kurikulum ini. Pertama, guru harus mengenal siswanya terlebih dahulu. Berikutnya, guru memetakan kompetensi siswa dalam bentuk portofolio. Pada hari pertama di tahun ajaran baru, sebaiknya guru tidak langsung menyampaikan materi tapi masuk dulu ke dunia anak untuk mengenal potensi dan pemahaman mereka.

Setelah guru mempunyai gambaran atau sebaran peta awal kemampuan anak, kemudian guru menyusun standar dari masing-masing kompetensi anak serta mulai mengkreasikan proses pembelajaran. “Misalnya untuk perkalian, anak yang belum paham tentang perkalian bisa berkolaborasi dan beraktivitas dengan anak yang sudah bisa. Kadang anak lebih cepat paham jika belajar bersama temannya,” urainya.

Menurut Zulfikri, Kurikulum Merdeka sangat memungkinkan terciptanya iklim kolaborasi yang baik antar sesama siswa. “Anak-anak akan saling memahami, “Oh, saya lebih unggul di sini, kamu lebih unggul di situ. Mari kita saling berkolaborasi”,” jelasnya antusias.

Terkait media pembelajaran, melalui Kurikulum Merdeka, peserta didik diberi kesempatan untuk bereksplorasi secara bijak dengan berbagai alat termasuk media digital yang menunjang pembelajaran. Berbagai aplikasi digital yang berkembang sesuai tren, bisa dimanfaatkan guru dan siswa untuk membuat konten pembelajaran yang menarik dan efektif. “Di sini juga memungkin terciptanya kolaborasi tak hanya sesama guru atau sesame siswa saja namun juga antara guru dan siswa,” imbuhnya. Dalam mendukung inovasi guru dalam pembelajaran, Kemendikbudristek telah menyediakan platform Merdeka Mengajar.

Guna menyukseskan pemahaman masyarakat tentang Kurikulum Merdeka, Kemendikbudristek telah menyediakan saluran informasi melalui laman resmi serta melibatkan komunitas pendidik seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Kelompok Kerja Guru (KKG), dan lain-lain. Terlebih, mulai tahun ini Kurikulum Merdeka terbuka untuk diterapkan di semua sekolah yang menginginkannya. “Tapi sebelum menerapkan, sekolah harus belajar dulu, memahami dulu, jangan tergesa-gesa memulainya hanya karena melihat orang lain yang sudah mulai lebih dulu,” tegas Zulfikri.

Ia mengimbau kepada satuan pendidikan untuk mempelajari bahan dan informasi di laman resmi Kemendikbudristek, maupun melalui saluran informasi di daerah baik dinas pendidikan, komunitas pengajar, guru, pengawas, dan organisasi/pegiat pendidikan. “Pelatihan terbaik adalah tumbuh dari dalam diri sendiri. Jika selama ini kita tergantung pelatihan berantai, dari pusat, turun ke provinsi dan kabupaten/kota, akan mungkin terjadi distrorsi di mana ujungnya yang tersampaikan hanya teknis administrasi dan mekanistis saja,” ungkap dia.

Sebagai pendamping, baiknya para pendidik memahami terlebih dulu hakikat anak, filosofi pembelajaran, dan kurikulum. “Jika itu yang kita munculkan dari dalam diri para guru yakni belajar dimulai dari diri masing-masing maka belajar maupun pelatihan tidak harus menunggu dilatih. Melainkan dapat dimulai kapan saja dan di mana saja,” terangnya.

Selain itu, yang tidak kalah penting dalam mengatasi krisis pembelajaran adalah penguatan pola pikir dalam ekosistem pendidikan. Pertama, menciptakan kesadaran seluruh warga sekolah untuk berefleksi dan bergerak bersama dalam kolaborasi yang selaras guna mencapai pembelajaran yang bermakna. Kedua, memberi ruang seluas-luasnya bagi anak untuk berkreasi dan mengembangkan diri dalam menemukan jati dirinya agar menjadi manusia yang bermanfaat di masa depan.

“Tolok ukur keberhasilan Kurikulum Merdeka adalah dari keceriaan (kebahagiaan) anak dan kemampuan mereka berkolaborasi menyelesaikan beragam persoalan. Bagaimana lembaga pendidikan mampu menciptakan budaya perilaku positif dalam mencetak SDM yang berkualitas dari waktu ke waktu sebagaimana nilai yang terkandung dalam Profil Pelajar Pancasila,” pungkas Zulfikri.

Sumber Foto: Kemendikbudristek