:
Oleh H. A. Azwar, Jumat, 18 Maret 2016 | 09:57 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 624
Jakarta, InfoPublik - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengusulkan tiga hal yang harus diperbaiki oleh pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk peningkatan pelayanan kesehatan.
Pertama, beberapa regulasi harus direvisi oleh pemerintah seperti Permenkes Nomor 59 Thn 2014 tentang Paket INA CBGs, dan oleh BPJS Kesehatan seperti Peraturan Direksi Nomor 1 tahun 2015 yang mensyaratkan masa aktivasi 14 hari. "Sehingga paket biaya bisa mencapai harga keekonomian akan menarik RS swasta ikut menjadi provider BPJS dan juga akan meningkatkan pelayanan RS Pemerintah dan RS swasta kepada peserta BPJS," ujarnya, Jumat (18/3).
Kedua, lanjut Timboel, adanya kemauan baik Direksi BPJS Kesehatan untuk membantu pasien peserta BPJS di RS-RS. “Selama ini pasien sering disuruh beli obat, darah, dan sebagainya, serta disuruh menunggu lama untuk diambil tindakan serta sering ditolak karena alasan kamar perawatan, ICU, Picu, Nicu penuh. Bila ada orang BPJS di RS-RS yang hadir 7x24 jam maka pasien akan terbantu,” imbuhnya.
Kemudian ketiga, adalah penegakan hukum yang masih rendah. Dengan penegakan hukum dan sanksi terhadap RS nakal maka sebenarnya pelayanan bisa lebih ditingkatkan. BPRS (Badan Pengawas Rumah Sakit) selama ini tdk efektif bekerja utk menegakkan hukum. "Kalau ketiga hal ini tidak dilakukan, maka pelayanan BPJS Kesehatan akan tidak ada perbaikan, walaupun iuran dinaikkan," tegasnya.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Kehadiran Perpres No. 19 Tahun 2016 ini menimbulkan penolakan dari masyarakat terutama masyarakat yang menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dari unsur Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU).
Pasalnya, dalam Perpres yang ditetapkan pada 29 Februari 2016 itu terdapat beberapa perubahan dari Perpres sebelumnya. Diantaranya yang saat ini sedang ramai disorot yaitu iuran JKN untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Rp23.000 per orang per bulan. Besaran iuran ini juga berlaku bagi PBI yang didaftarkan oleh pemerintah daerah atau integrasi jaminan kesehatan daerah dengan JKN.
Selain itu, untuk iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) juga mengalami kenaikan, yaitu iuran PBPU kelas III Rp30.000, kelas II Rp51.000, dan kelas I Rp80.000. Pada peraturan sebelumnya, iuran PBPU kelas III Rp25.500, kelas II Rp42.500, dan kelas III Rp59.500. Adapun iuran untuk peserta PBI di aturan sebelumnya sebesar Rp19.225 per orang per bulan. "Kenaikan iuran tidak otomatis bisa meningkatkan pelayanan kesehatan," kata Timboel.
Ia menilai, kehadiran Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tidak adil. Pasalnya, menurut Timboel, pemerintah hanya berani menaikkan iuran peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) saja yang tidak memiliki kepastian income. Sementara Peserta Penerima Upah atau PPU atau biasa disebut pekerja formal yang memiliki kepastian upah tidak disentuh.
Seharusnya iuran peserta mandiri tidak perlu dinaikkan, namun yang harus dinaikkan adalah batas atas iuran peserta PPU yaitu dengan menaikkan dari 2 x PTKP menjadi 3 x PTKP, ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa penetapan batas atas secara nominal yaitu sebesar Rp8 juta di Perpres No. 19 ini tidak signifikan mendukung peningkatan pendapatan BPJS Kesehatan. “Sebaliknya dengan menaikkan batas atas upah ini maka akan bisa menambah jumlah iuran dari unsur PPU,” jelas Timboel.
Namun demikian, dikatakannya, yang lebih signifikan untuk menambah iuran sebenarnya adalah dengan menambah jumlah kepesertaan dari sektor PPU.
Menambah 8 juta saja sudah bisa menambah Rp9,6 triliun dari hasil 8 juta x rata rata upah Rp2 juta x 5 persen x 12 bulan = Rp9,6 triliun. Ini artinya defisit akan terhindari, kata Timboel.
Menurut Timboel, kepesertaan PPU di BPJS Kesehatan yang masih rendah saat ini yang hanya sekitar 8 juta peserta, tentunya harus ditingkatkan dengan signifikan.
Membandingkan dengan data kepesertaan aktif PPU di BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini berjumlah sekitar 19,2 juta orang maka seharusnya BPJS Kesehatan datang ke BPJS ketenagakerjaan untuk membandingkan data yang ada sehingga BPJS Kesehatan tinggal memfollow up selisih data tersebut dengan mendatangi perusahaan perusahaan yang belum mengikutsertakan pekerjanya ke BPJS Kesehatan. Tentunya, bila secara persuasif tidak mampu maka penegakan hukum dengan menggunakan PP No. 86 tahun 2013 (sanksi administratif) serta Pasal 55 UU no. 24 tahun 2011 (sanksi pidana), ujarnya.
Diingatkannya, terkait dengan pelayanan, dirinya sangat meragukan pernyataan BPJS Kesehatan yang menyatakan bahwa kenaikan iuran peserta mandiri, PBI dan Jamkesda per 1 April 2016 nanti ini akan meningkatkan pelayanan kesehatan. “Kenaikan iuran tidak otomatis bisa meningkatkan pelayanan kesehatan,” pungkas Timboel.