:
Oleh H. A. Azwar, Minggu, 21 Februari 2016 | 07:17 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 614
Jakarta, InfoPublik - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam menyatakan, Indonesia harus tetap berpegang pada konstitusi dalam menyikapi polemik kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender atau LGBT.
Pernyataan Asrorun tersebut dikemukakannya saat menanggapi banyaknya studi akademik terutama di bidang psikiatri di luar negeri yang telah menyatakan LGBT bukanlah gangguan jiwa.
Soal LGBT sebagai fakta, iya, jelas ada. Tetapi dalam perspektif positioning soal normalitas perdebatannya cukup panjang. Yang paling mudah dijadikan pegangan tentunya undang-undang. Undang-undang sudah menunjukkan bahwa itu abnormal, sungguh pun ada kajian akademik, kata Asrorun dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (20/2).
Namun, menurutnya, status abnormal yang disebutkan undang-undang bukan berarti mengingkari hak asasi manusia (HAM) kaum LGBT.
“Abnormalitas dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sipil adalah dua hal yang berbeda. Abnormalitas bukan berarti mengingkari prinsip-prinsip HAM. Dalam hal pendidikan misalnya, mereka harus tetap diberikan akses,” ujar Asrorun.
Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai keberadaan LGBT merupakan fakta yang harus diakui keberadaanya. “Saya ingin sampaikan bahwa memang LGBT ini merupakan fakta sosial,” kata anggota Komnas HAM Natalius Pigai.
Meski demikian, menurut Pigai, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan menghormati semua warga negaranya. Tidak boleh mendiskriminasi kaum LGBT, karena memiliki hak yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi mereka dan harus menghormati mereka, karena mereka warga negara Indonesia. Warga Negara asing saja, dilindungi apalagi warga negara Indonesia. Itu yang harus dilakukan, ujarnya.
Sedangkan mengenai legalisasi perkawinan sejenis, disebutnya, Indonesia belum bisa menerapkannya. Sebab permasalahan LGBT di Indonesia sangat berkaitan dengan agama, sosial dan budaya.
“Kita harus hormati bahwa itu fakta sosial, tapi kalau ikut membela perjuangan melegalisasi pernikahan sejenis itu masih jauh,” kata Pigai.
Dalam acara tersebut, cendekiawan muslim Ulil Abshar Abdala menyatakan bahwa masyarakat kota saat ini cenderung melakukan banyak diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender, baik di media sosial maupun di kehidupan sehari-hari. Hal itu tercermin dari banyaknya penghinaan atau bullying di media sosial terhadap komunitas minor tersebut.
Menurut saya, di masyarakat perkotaan ada perkembangan baru yang beda dari masyarakat tradisional umumnya. Soal LGBT, kelompok ini diserang dan diejek di medsos, kata Ulil.
Menurutnya, bullying kepada kaum LGBT memungkinkan adanya kekerasan fisik. Hal itu seperti yang terjadi pada kaum minoritas lainnya seperti Syiah, Ahmadiyah dan lain sebagainya. Karenanya, ia menegaskan kepada masyarakat untuk tidak melakukan diskriminasi kepada kaum LGBT.
Masyarakat boleh menyatakan ketidaksukaan atau penolakan, akan tetapi komunitas LGBT sama halnya dengan warga negara lain yang perlu dipenuhi hak-hak sipilnya.
LGBT harus dihormati hak-haknya. Tantangan terbesar adalah (menghapus) diskriminasi di dalam masyarakat. Menurut saya, kita tidak bisa membiarkan bully, ejekan, terutama di kota, yang lebih terdidik. Yang saya lihat justru di masyarakat kampung tidak demikian, ujar Ulil.
Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi Golkar Deding Ishak yang menyatakan, negara tak bisa mewadahi aspirasi kaum LGBT mengenai legalisasi perkawinan sejenis.
Namun, lanjut dia, jika terkait pemenuhan hak-hak dasar sebagai masyarakat sipil, maka negara wajib menanggung dan melindungi.
“Kalau mereka menuntut hak pendidikan, ya mereka berhak. Kalau mereka selama ini merasa dibedakan pendidikan, kesehatan, di tempat-tempat umum, maka harus dibantu. Tugas negara untuk melindungi komunitas mereka,” jelas Deding.
Sementara aktivis LGBT Hartoyo mengakui masih banyak diskriminasi yang diterima pihaknya dari masyarakat. Diskriminasi tersebut terutama dalam hal praktik agama. Kaum LGBT, menurut Hartoyo, telah dicap sebagai manusia tak beragama.
Masyarakat itu kejam sekali, LGBT dipaksa untuk tidak beragama. Kami disebut menodai agama, kejam banget. Itu di mana saya melompat, saya enggak boleh beragama. Saya bilang, ke-gay-an saya sama kuatnya dengan ke-Islaman saya, kata Hartoyo.