:
Oleh H. A. Azwar, Jumat, 22 Januari 2016 | 13:25 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 383
Jakarta, InfoPublik - Pemerintah tengah menggarap Rancangan Undang-undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditargetkan menjadi UU pada Maret 2016. Kehadiran UU Tapera sebagai bentuk upaya riil pemerintah memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Membaca Draft RUU Tapera tersebut, menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, tujuan kehadiran RUU Tapera adalah sangat baik yaitu untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada peserta dalam mengakses pembiayaan perumahan. "Bahwa faktanya saat ini, masih banyak Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang tidak memiliki rumah dengan kendala utama yaitu masalah pembiayaan. Mayoritas kalangan buruh merupakan segmentasi masyarakat yang termasuk dalam Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) tersebut," ujar Timboel, Jumat (22/1).
Timboel menilai bahwa, masalah perumahan adalah masalah pokok bagi kalangan buruh. Pasalnya, kalangan buruh kerap kali diidentikkan dengan mengontrak rumah atau kamar. Banyak buruh yang sudah bekerja 15 sampai 20 tahun lebih, masih saja terus mengontrak rumah beserta dengan keluarganya. Sementara komponen biaya perumahan seperti mengontrak rumah tersebut bisa mencapai 25 persen dari upah buruh.
Hal ini disebut Timboel, karena, kalangan buruh tidak memiliki akses pembiayaan untuk membeli rumah dengan kondisi upah yang hanya sekitar kisaran upah minimum. "Hal inilah yang menyebabkan kalangan buruh selalu gagal membeli rumah untuk masa depannya. Bahwa masalah perumahan merupakan faktor utama yang akan mendukung kesejahteraan buruh dan keluarganya. Oleh karena itu OPSI sangat mendukung upaya Pemerintah dalam membuat UU Tapera ini," terangnya.
Merujuk pada Pasal 100 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebut bahwa “Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan”. "Nah, dalam konteks ini perumahan merupakan salah satu faktor utama yang bisa meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya," tuturnya.
Oleh karena itu, lanjut Timboel, terkait dengan permasalahan mekanisme pembiayaan tabungan maka OPSI berpendapat bahwa mekanisme pembiayaan perumahan tersebut dengan wajib tabungan (simpanan) dimana buruh dan pemberi kerja ikut berkontribusi.
"Mengenai besaran simpanan atau tabungan tersebut, kami mendukung isi draft Pasal 15 ayat (1) RUU Tapera yaitu sebesar 3 persen yang dikontribusi oleh Buruh sebesar 2,5 persen dan Pemberi Kerja sebesar 0.5 persen dari Upah. Kontribusi Pemberi Kerja sebesar 0.5 persen sudah tepat mengingat perintah Pasal 100 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tersebut," jelasnya.
Tentunya, Timboel berharap, UU Tapera tersebut juga harus didukung oleh BPJS Ketenagakerjaan. “Bahwa program-program BPJS Ketenagakerjaan terkait perumahan buruh juga harus mendukung tujuan yang ada di UU Tapera tersebut,” pesannya.
OPSI meyakini bahwa dengan adanya akses mudah bagi buruh untuk memiliki rumah maka kesejahteraan buruh akan bisa ditingkatkan, dan lebih utamanya paska bekerja (pensiun) kaum buruh Indonesia sudah memiliki kepastian tempat tinggalnya. UU Tapera dan BPJS Ketenagakerjaan serta BPJS Kesehatan akan mengurangi tingkat kemiskinan kaum buruh yang pensiun nantinya.