:
Oleh H. A. Azwar, Rabu, 6 Januari 2016 | 11:06 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 585
Jakarta, InfoPublik - Saat ini Indonesia sudah masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan sepertinya sudah menjadi keniscayaan bagi pemerintah untuk melaksanakan MEA ini, termasuk juga seluruh rakyat Indonesia untuk menerimanya.
Menurut Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, kehadiran MEA saat ini berarti arus Tenaga Kerja Asing (TKA) dari negara Asean akan lebih mudah masuk ke Indonesia.
Kehadiran TKA di era MEA ini tidak lagi dalam konteks alih teknologi dan alih keahlian, tetapi TKA hadir hanya bekerja seperti pekerja Indonesia lainnya, ujar Timboel di Jakarta, Rabu (6/1) menanggapi pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri beberapa waktu lalu.
Tidak ada lagi pengusaha yang mau memberikan pendidikan dan pelatihan tersebut karena TKA tersebut bisa bekerja terus di Indonesia dan tidak ada alih teknologi dan alih keahlian kepada pekerja Indonesia, imbuhnya.
Dia mengingatkan, secara regulasi, tentunya pelaksanaan MEA saat ini sudah melanggar isi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. “Kami mendesak pemerintah untuk mematuhi isi Pasal 42 - Pasal 49 UU 13 tahun 2003 dalam melaksanakan MEA. Penegakkan hukum yang mengacu pada pasal-pasal tersebut harus diseriusin dan ditingkatkan,” pesan Timboel seraya menambahkan, masalah utama yang muncul dari MEA ini, sebenarnya adalah masalah kesiapan kompetensi tenaga kerja kita dan ketersediaan lapangan kerja buat pekerja Indonesia.
Timboel sendiri mengapresiasi Menaker yang dalam rilisnya menyatakan capaian-capaian dari upaya yang telah dilakukannya seperti menetapkan 85 Standart Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), serta akreditasi 725 Balai Latihan Kerja dan Lembaga Pelatihan Kerja Swasta (LPKS).
Kemudian melakukan sertifikasi terhadap 167 Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), telah melakukan percepatan Pengembangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKNNI) di semua sektor dan Percepatan Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), telah dibangun enam BLK baru di Banyuwangi, Sidoarjo, Bantaeng, Pangkajene, Belitung dan Lombok Timur sebagai salah satu implementasi program revitalisasi BLK, dan telah dilakukan peremajaan peralatan pelatihan di BLK-BLK senilai Rp43 miliar.
Namun, upaya-upaya yang telah disebutkan di atas hanya capaian membangun infrastrukturnya saja, bukan capaian terkait jumlah dan kualitas kompetensi pekerja Indonesia, kata Timboel.
Seharusnya, lanjut Timboel, capaian dan upaya membangun infrastruktur tersebut sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum MEA berlaku sehingga ketika MEA berlaku Hanif sudah bisa mengatakan bahwa kita sudah memiliki sekian ratus ribu atau sekian juta pekerja dengan sertifikasi kompetensi sehingga pekerja Indonesia sudah siap bersaing di era MEA ini.
Kalau saat ini pemerintah masih bicara soal infrastrukturnya saja, kapan lagi tercipta pekerja-pekerja Indonesia yang memiliki sertifikasi kompetensi, sementara MEA sudah berlaku dan pekerja Indonesia harus berkompetisi bebas secara langsung saat ini, tuturnya.
Dia menilai, pemerintah lambat untuk menciptakan sejumlah pekerja-pekerja yang kompeten. Sebagai contoh, di Kepulauan Riau ada sekitar 400 ribu pekerja namun yg memiliki sertifikasi kompetensi hanya sekitar 1400 pekerja.
Ini kan masih sangat kecil rasionya. Dan untuk tingkat nasional, saya menyakini masih sedikit pekerja Indonesia yang memiliki sertifikasi kompetensi, terangnya.
Tentunya, menurut Timboel, dengan fakta di atas menjadi masalah buat pekerja kita di era MEA ini, dimana, para pengusaha di Indonesia nantinya akan cenderung merekrut TKA dibandingkan pekerja Indonesia.
Selain masalah kompetensi, para pengusaha akan lebih suka merekrut TKA karena TKA, sesuai Pasal 42 ayat 4 UU 13/2003, dipekerjakan di Indonesia dengan jangka waktu tertentu.
Ini artinya tidak ada TKA yang menjadi pekerja tetap, yang bila di PHK akan memperselisihkannya ke PHI dan MA. Karena TKA dipekerjakan dengan jangka waktu tertentu maka TKA akan lebih mudah di PHK karena alasan habis masa kerjanya. Dibandingkan dengan pekerja Indonesia yang bisa dikontrak tetapi dalam batas waktu tertentu dan pekerjaan tertentu seperti diamanatkan Pasal 59 UU 13/2003, dan bila pengusaha melanggar pasal tersebut maka pekerja tersebut otomatis menjadi pekerja tetap, maka pengusaha akan lebih senang merekrut TKA dibandingkan pekerja Indonesia, ujarnya.
Dengan kecenderungan lebih suka merekrut TKA di era MEA ini berarti lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia yang terampil dan berpendidikan akan semakin sempit, dan ini artinya potensi meningkatnya pengangguran terdidik akan semakin besar. “Ini merupakan ancaman bagi bangsa kita,” kata Timboel.
Timboel mengakui, bahwa, dengan upaya pemerintah melakukan pelatihan wirausaha dan keterampilan kerja bagi 717.454 calon tenaga kerja, adalah hal yang perlu diapresiasi.
Namun demikian, upaya pemerintah jangan berhenti pada pelatihan saja tetapi harus dilanjutkan dengan pemberian modal kerja dengan bunga rendah serta akses bahan baku dan pasar yang lebih mudah. Penggunaaan KUR (Kredit Usaha Rakyat) harus diprioritaskan bagi wirausaha-wirausaha tersebut, dan diupayakan bunganya sekitar 4% - 5%, jangan 9% seperti yang dicanangkan pemerintah untuk tahun 2016 ini, pungkas Timboel.