KPK Cegah Delapan Pegawai BPK Bepergian Keluar Negeri dalam Perkara Tersangka MA

:


Oleh Pasha Yudha Ernowo, Selasa, 16 Mei 2023 | 07:09 WIB - Redaktur: Untung S - 247


Jakarta, InfoPublik - Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri, mengungkapkan, KPK melakukan pencegahan terhadap 10 orang di kasus suap Bupati Meranti nonaktif Muhammad Adil (MA). Delapan orang di antaranya merupakan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau.

“Dengan diperlukannya keterangan berbagai pihak sebagai saksi untuk menguatkan pembuktian unsur-unsur pasal dugaan suap yang diterima Tersangka MA maka KPK mengajukan cegah untuk tetap berada diwilayah Indonesia terhadap sepuluh orang, dimana delapan orang diantaranya pegawai BPK Perwakilan Riau dan dua pihak swasta,” terang Ali, dalam keterangannya ke InfoPublik, Senin (15/5/2023).

Ali menjelaskan, cegah dimaksud telah diajukan sejak 10 Mei 2023 pada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI untuk enam bulan pertama dan tentu dapat dilanjutkan sesuai dengan kebutuhan proses penyidikan.

“KPK mengharapkan sikap kooperatif dari para pihak tersebut untuk hadir dalam setiap penjadwalan pemanggilan yang disampaikan Tim Penyidik,” tuturnya.

Sebelumnya, (KPK) melakukan kegiatan tangkap tangan dugaan tindak pidana korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada Penyelenggara Negara atau yang mewakilinya pada TA 2022 s.d 2023; dugaan tindak pidana korupsi penerimaan fee jasa travel umroh; dan dugaan tindak pidana korupsi pemberian suap pengondisian pemeriksaan keuangan 2022 di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Dalam tangkap tangan tersebut KPK mengamankan 28 orang di empat lokasi berbeda yaitu di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Siak, Kota Pekanbaru, serta DKI Jakarta. KPK juga mengamankan uang sebagai bukti permulaan sejumlah sekitar Rp1,7 miliar.

KPK selanjutnya menetapkan tiga orang tersangka yaitu MA Bupati Kepulauan Meranti periode 2021 sampai 2024; FN Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti; serta MFA Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau.

Para Tersangka selanjutnya ditahan untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 7 sampai 26 April 2023. Tersangka MA dan FN ditahan di Rutan KPK pada gedung Merah Putih, kemudian MFA ditahan di Rutan KPK pada Pomdam Jaya Guntur.

Dalam konstruksi perkara ini, MA diduga memerintahkan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melakukan setoran uang yang sumber anggarannya dari pemotongan Uang Persediaan (UP) dan Ganti Uang Persediaan (GU) masing-masing SKPD yang kemudian dikondisikan seolah-olah adalah utang kepada MA. Besaran pemotongan UP dan GU ditentukan MA dengan kisaran 5 persen sampai 10 persen untuk setiap SKDP. Setoran dalam bentuk uang tunai dan disetorkan kepada FN yang menjabat Kepala BPKAD Pemkab. Kepulauan Meranti sekaligus orang kepercayaan MA. Uang tersebut selanjutnya digunakan MA diantaranya untuk dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonannya untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Riau pada 2024.

Tersangka MA juga diduga menerima uang sejumlah sekitar Rp1,4 miliar dari PT TM melalui FN. Pemberian tersebut karena memenangkan PT TM dalam proyek pemberangkatan umroh bagi para Takmir Masjid di Kab. Kepulauan Meranti.

Kemudian Tersangka MA bersama-sama FN juga diduga memberikan uang sejumlah sekitar Rp1,1 Miliar kepada MFH selaku Ketua Tim Pemeriksa BPK Perwakilan Riau. Pemerian tersebut dimaksudkan agar proses pemeriksaan keuangan Pemkab. Kepulauan Meranti 2022 mendapatkan predikat baik atau Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Sebagai bukti awal dugaan korupsi yang dilakukan MA menerima uang sejumlah sekitar Rp26,1 miliar dari berbagai pihak. KPK masih akan mendalami lebih detail temuan ini.

Atas perbuatannya, MA sebagai penerima suap melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu, MA juga sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

FN sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

MFA sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Foto: Dok KPK