:
Oleh Eko Budiono, Kamis, 10 November 2022 | 08:40 WIB - Redaktur: Untung S - 347
Jakarta, InfoPublik - Pemerintah menjawab isu hukuman mati yang diangkat oleh beberapa negara khususnya Eropa, dalam Universal Periodic Review (UPR) ke-4 di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Saya sampaikan bahwa hukuman mati adalah hukum positif kita saat ini,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Hamonangan Laoly, dalam keterangan pers secara daring usai persidangan UPR di Jenewa, Swiss, pada Rabu (9/11/2022).
Menurut Yasonna, Indonesia sedang berupaya mencari win-win solution atau jalan tengah tentang hukuman mati, melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) baru yang masih disusun.
Dalam RKUHP yang diharapkan dapat disahkan tahun ini, kata Yasonna, hukuman mati nantinya akan menjadi hukuman alternatif yang bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup.
“Jadi nantinya hukuman mati dapat dievaluasi setelah 10 tahun jika yang bersangkutan mendapat rekomendasi dari berbagai pihak, termasuk selama menjalankan hukuman dia berbuat baik, maka bisa diubah hukumannya menjadi life sentence atau hukuman seumur hidup atau 20 tahun,” kata Yasonna.
Namun, Yasonna tidak menampik bahwa perbedaan pendapat mengenai hukuman mati masih sangat tajam, termasuk di DPR RI dan di antara masyarakat Indonesia sendiri.
Yasonna menegaskan, terkait hukuman mati perlu diperhatikan juga hak-hak korban, sehingga cara memandang jenis hukuman itu menjadi lebih seimbang.
“Kita harapkan dengan jalan tengah itu, maka pendekatan kita tentang hukuman mati akan berterima di masyarakat internasional,” tuturnya.
Selain mengenai hukuman mati, dalam UPR ke-4 yang dihadiri 108 anggota PBB kali ini Indonesia juga mencatat sejumlah rekomendasi di antaranya mengenai isu ratifikasi opsional protokol Konvensi Anti Penyiksaan, revisi KUHP, isu kebebasan beragama dan berekspresi, isu perlindungan terhadap hak wanita, anak, dan disabilitas, serta isu Papua.
Atas pertanyaan dan rekomendasi tersebut, pemerintah akan mempertimbangkan rekomendasi yang akan diterima untuk ditindaklanjuti dan menjadi bagian penting dari kebijakan HAM nasional selama lima tahun berikutnya.
UPR adalah forum dialog dan kerja sama untuk meningkatkan kapasitas negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan komitmen kemajuan dan perlindungan HAM, sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 60/251 pada 2006.
Indonesia menempatkan Sidang UPR sebagai forum penting bagi upaya nasional untuk memenuhi mandat konstitusi dalam pemajuan dan perlindungan HAM.
Dalam hal itu, sejak 2021 proses penyusunan laporan nasional untuk UPR telah dilakukan secara serius dan inklusif, melalui diskusi dan jaring masukan melibatkan kementerian dan lembaga pemerintah, pemerintah daerah, lembaga HAM nasional, akademisi, serta organisasi non pemerintah dan masyarakat sipil.
Tangkapan layar Menkumham RI Yasonna Laoly (kiri) dan Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa Febrian A Ruddyard (kanan) menyampaikan keterangan pers secara daring mengenai pelaksanaan Sidang UPR Dewan HAM PBB pada Rabu (9/11/2022). (ANTARA/Yashinta Difa)