Guru Besar Undip Paparkan 14 Isu Krusial RUU KUHP

:


Oleh Eko Budiono, Rabu, 5 Oktober 2022 | 12:50 WIB - Redaktur: Untung S - 832


Sorong, InfoPublik - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro (Undip), Profesor Pujiyono, memaparkan  14 isu krusial dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana  (RUU KUHP).

Hal tersebut disampaikan Profesor Pujiyono, dalam  Dialog Publik  Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana  (RUU KUHP) yang digelar oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian  Komunikasi dan Informatika (Kominfo), di Hotel Rylich Panorama, Kota Sorong, Papua Barat,  Rabu  (5/10/2022).

Guru besar yang biasa disapa Prof. Puji itu menuturkan isu pertama  soal living law atau  pidana adat dalam pasal 2 dan pasal 601 RUU KUHP.

Menurut Prof Puji, living law tidak boleh melanggar hak asasi manusia, Pancasila, dan asas-asas hukum internasional serta tidak ada padanan di KUHP,” katanya.

Prof Puji menegaskan, masyarakat masih memegang teguh hukum tak tertulis.

Isu krusial kedua, kata Prof Puji, terkait  pidana mati yang diatur dalam pasal 67 dam 100 RUU KUHP.

Menurutnya, memang ada kritikan bahwa pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

"Ada dua kelompok yang soal pidana mati yakni yang  mendukung  pidana mati dan yang menolak pidana mati," katanya.

Prof Puji menegaskan, pidana mati dalam RUU KUHP diatur sebagai pidana yang bersifat khusus, dan selalu dicantumkan   alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.

Menurutnya, jalan tengah pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.

Isu ketiga, kata Prof Puji, yakni penghinaan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Ketentuan soal penyerangan atau menghina presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal, 218, 219, 220. Pasal itu menyebut, setiap warga negara yang menghina presiden dapat dipidana 3,5 tahun.

Pasal tersebut merupakan delik aduan sehingga harus dilaporkan langsung oleh yang bersangkutan.

"Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan; Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden".

Menurut Prof Puji, pasal-pasal tersebut tidak bertujuan untuk membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat.

"Penghinaan itu perbuatan tercela dan bukan perbuatan baik," katanya.

Menurutnya, nama baik kepala negara asing saja dilindungi di Indonesia.

"Jadi  nama baik  kepala negara di Indonesia juga harus dilindungi," katanya.

Sedangkan isu keempat, kata Prof. Puji, terkait dengan santet atau tindak  pidana menyatakan diri memiliki kekuatan gaib atau untuk mencelakakn orang lain yang diatur dalam pasal 252 RUU KUHP.

Di dalam Pasal 252 Ayat (1) disebutkan, setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta).

Selanjutnya, disebutkan dalam penjelasan Pasal 252 RUU KUHP bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya.

Ketentuan itu dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet).

Prof Puji mengatakan, pasal itu tidak mengkriminalisasi santet karena  KUHP bersifat rasional.

Isu kelima, yakni pada Pasal 278 yang mengatur, bahwa setiap orang yang membiarkan unggas atau ternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain.

Isu krusial keenam yakni contempt of court atau mengatur soal penghinaan terhadap proses peradilan yang diatur dalam pasal 280 RUU KUHP.

Menurut Prof Puji, aturan itu tidak menghalangi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.

Isu ketujuh terkait penodaan agama yang diatur dalam pasal 302 RUU KUHP.

Prof.Puji menegaskan perlunya penjelasan faktor-faktor penodaaan agama.

Isu kedelapan yakni  pasal mengenai penganiayaan hewan.

Prof Puji menegaskan pasal itu masih diperlukan diatur dalam pasal 340.

Pada Pasal 340 ayat 1 huruf (a) menyangkut penganiayaan hewan, pemerintah mengusulkan untuk mengganti frasa "berpengaruh" menjadi merusak.

Pada penjelasan, ditambahkan keterangan yang dimaksud dengan "kemampuan kodrat" adalah kemampuan hewan yang alamiah.

Isu kesembilan yakni mencegah kehamilan dan menggugurkan kandungan.

Ketentuan soal alat kontrasepsi diatur dalam tiga pasal. Masing-masing Pasal 412, 413, dan 414.

Pasal 412 menyebutkan, setiap orang yang secara terang-terangan menawarkan atau menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori satu.

Menurut Prof.Puji , pidana tidak dapat dijatuhkan jika yang melakukan hal tersebut merupakan seorang kompeten, atau dilakukan untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Sedangkan isu kesepuluh yakni soal aborsi atau pengguguran kandungan diatur dalam sejumlah pasal 467 RUU KUHP.

Pasal 467 ayat 1 menyebutkan, "Setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun".

Isu kesebelas yakni terkait gelandangan yang diatur dalam pasal 429. Di dalamnya menyebutkan, "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (atau sekitar Rp1,5 juta)".

Sementara itu, isu kedua belas yakni mengenai kesusilaan seperti  perzinaan.

Menurutnya, untuk perzinahan penuntutan hanya bisa dilakukan terhadap pelaku jika hanya dilaporkan dua pihak. Pertama, suami atau istri. Kedua, orang tua atau anak.

"Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp7,5 juta)," demikian bunyi Pasal 415.

Sedangkan isu ketigabelas mengenai kohabitasi atau kumpul kebo.

Kohabitasi adalah dua orang lawan jenis yang tinggal satu atap di luar ikatan pernikahan. RUU KUHP mengancam pidana bagi seseorang yang melakukan kohabitasi.

Pasal kohabitasi diatur dalam Pasal 416. Ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".

Prof. Puji menuturkan, kohabitasi  hanya bisa dilakukan penuntutan jika dilaporkan dua pihak, suami atau istri; anak atau orang tua.

Isu keempat belas yakni perkosaan yang diatur dalam pasal 477 RUU KUHP.

Pasal tersebut menyebutkan, seseorang bisa dipidana jika melakukan kekerasan atau ancaman bersifat memaksa orang lain bersetubuh bisa dipidana 12 tahun penjara.

Pada ayat 2 dijelaskan, perbuatan perkosaan meliputi persetubuhan suami atau istri, anak, seseorang yang tidak berdaya dan penyandang disabilitas.

Selanjutnya, penuntutan atas dugaan perkosaan dalam hubungan perkawinan bisa dilakukan jika ada pengaduan dari korban. Hal itu tercantum pada ayat 6.

Keterangan Foto: Profesor Pujiyono, dalam  Dialog Publik  Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana  (RUU KUHP) yang digelar oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP). Kementerian  Komunikasi dan Informatika (Kominfo), di Rylich Panorama Hotel, Rabu  (5/10/2022).InfoPublik/ Agus Siswanto.