Pengamat: Seandainya Perusahaan, Sistem Peradilan Pidana Pasti Sudah Bangkrut

:


Oleh Yudi Rahmat, Kamis, 8 September 2016 | 17:20 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 1K


Jakarta, InfoPublik - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, jika diandaikan sebagai sebuah perusahaan, tentunya sistem peradilan pidana di Indonesia sudah bangkrut. Hal itu disebabkan banyak kliennya yang merasa tidak puas, dalam hal ini saksi dan korban tindak pidana.

Menurut Harkristuti, harus ada batasan mengenai definisi korban seperti apa, apakah dalam kasus dimana pelakunya diproses hukum ataukah bisa juga korban dalam kasus dimana pelakunya tidak ada atau tewas. Lalu, bagaimana dengan keluarga korban, adakah batasan hubungan kekerabatan, seperti ayah, ibu, anak atau saudara.

Selain itu, yang juga penting, kata Harkristuti, yaitu bagaimana cara perhitungan kompensasi dan restitusi bagi korban. “Misalnya, korban yang kehilangan jempol tangan atau kaki, tentu perhitungannya berbeda. Begitu pula apabila ahli warisnya, ayah, ibu, atau anak, apakah juga berbeda perhitungannya,” ungkap dia pada seminar sehari “Konsolidasi Hukum untuk Memaksimalkan Pemenuhan Hak Korban Tindak Pidana” yang diselenggarakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Hotel Aryaduta, Kamis (8/9).

Harkristuti juga sempat menyoroti draf revisi Rancangan Undang-Undang Terorisme. Menurut dia, dalam draf tersebut khususnya yang terkait dengan perlindungan saksi dan korban sama sekali tidak ada perubahan. “Tapi, saya baru melihat draf ajuan pemerintah, bukan yang saat ini sudah digodok di DPR,” ujar dia.

Apa yang disampaikan Harkristuti, juga diamini Ketua Pansus RUU Terorisme HR Muhammad Syafi’i. Menurut dia, dalam draf revisi RUU Terorisme juga tidak ada menyinggung mengenai perlindungan saksi dan korban, termasuk masalah ganti kerugian juga belum disinggung dalam draf revisi tersebut.

Draf revisi, ungkap Syafi’i, lebih banyak membicarakan mengenai tambahan kewenangan dan penindakan. Karena itu, pansus mengusulkan harus adanya kesepakatan antara pansus dan pemerintah mengenai definisi teroris dan pengawasan terhadap kinerja instansi yang khusus menangani permasalahan terorisme.

Sementara itu, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, revisi beberapa peraturan perundang-undangan beberapa waktu terakhir seharusnya bisa menjadi momen untuk memaksimalkan pemenuhan serta mengakomodir hak-hak saksi dan korban tindak pidana.

Karena sampai saat ini, ujar Semendawai, ada beberapa hak korban yang belum terakomodir. Kalau pun hak-hak saksi dan korban yang diakomodir dalam sebuah peraturan, mekanisme untuk mendapatkannya yang masih terlalu rumit. “Seharusnya ada mekanisme yang lebih sederhana, seperti dalam pengurusan restitusi atau kompensasi bagi korban,” tutur dia.

Semendawai mengusulkan adanya semacam skema ganti kerugian bagi korban, semisal ganti kerugian bagi korban meninggal dunia dan cacat permanen tentu berbeda. Selain itu, perlu dikaji pula apakah restitusi dan kompensasi bisa diberikan tanpa harus menunggu adanya putusan pengadilan karena pada beberapa kasus, tidak ada pengadilannya karena para pelakunya sudah tewas, seperti pada kasus terorisme.

Seminar dipandu Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar. Turut menjadi narasumber Ketua Pansus RUU Terorisme HR Muhammad Syafi’i, Ketua Panja RUU KUHP Benny K Harman. Sementara keynote speech disampaikan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai.