Ini Hasil Kajian KPK Soal Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada

:


Oleh Untung S, Jumat, 1 Juli 2016 | 11:06 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 1K


Jakarta, InfoPublik - Inilah hasil Kajian tentang Potensi Benturan Kepentingan pada Pendanaan Pilkada yang sudah dipaparkan Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Komisi Pemilihan Umum, Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawas Pemilu.

Benturan ini seringkali menjadi pemicu terjadinya tindak pidana korupsi. Dalam catatan yang diterima InfoPublik, Kamis (30/6) hasil kajian itu menunjukkan pada aspek pelaporan, pengeluaran aktual Pilkada lebih besar dari Harta Kekayaan pada LHKPN, sebanyak 51,4 persen responden mengeluarkan dana Pilkada melebihi kemampuan harta kas yang dimiliki. Sebanyak 16,1 persen responden mengeluarkan dana Pilkada melebihi total harta yang dimiliki.

Semua pengeluaran tidak dicantumkan ke dalam Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK), dan Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK). Tingkat kepatuhan pelaporan rendah dan isi laporan dimungkinkan tidak jujur dan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Selain itu, sebagian besar penegakan peraturan mengenai Pilkada, terutama terkait pendanaan (Undang-undang maupun Peraturan KPU) dalam hal kepatuhan, akurasi maupun penegakan sanksi, juga tidak efektif.

Di sisi lain, pemberian sumbangan juga menciptakan potensi benturan kepentingan pada saat menjabat pimpinan daerah. Faktanya, mayoritas pasangan calon menerima sumbangan untuk menutupi kesenjangan antara harta kas dan pengeluaran Pilkada.

Hasil kajian menemukan bahwa sumbangan yang diterima tidak semua dilaporkan ke dalam LPSDK (tingkat kepatuhan populasi 64 persen). Bahkan, calon kepala daerah menyadari bahwa terdapat konsekuensi saat menerima sumbangan (56,3 persen).

Hasil kajian juga memperlihatkan, konsekuensi sumbangan yang akan dibayarkan, berupa kemudahan perizinan (65,7 persen), kemudahan akses menjabat di pemerintah (60,1 persen), kemudahan ikut serta dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (64,7 persen), keamanan dalam menjalankan bisnis (61,5 persen), mendapatkan akses dalam menentukan kebijakan/peraturan daerah (49,3 persen) dan mendapatkan bantuan kegiatan sosial/hibah (51,7 persen).