Inilah Celah Korupsi Pengadaan Barang Hasil Kajian KPK

:


Oleh Untung S, Rabu, 29 Juni 2016 | 01:32 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 1K


Jakarta, InfoPublik - Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sedikitnya ada empat titik celah terjadinya tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa, yakni aspek regulasi, perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, hingga pengawasan.

Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (28/6) mengatakan pada aspek regulasi, persoalan disebabkan oleh sistem perundangan yang berbenturan, multitafsir, tumpang tindih, tidak kuat dan tidak aplikatif.

Persoalan pada aspek perencanaan dan penganggaran disebabkan pemangku kepentingan yang tidak berintegritas dan proses perencanaan yang tidak transparan.

Sementara dari sisi apsek pelaksanaan, ditemukan paling banyak akar persoalan, misalnya organisasi pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang tidak berintegritas, adanya intervensi eksternal dalam PBJ, kolusi, kelemahan sistem SDM, individu yang koruptif dan tidak independen, serta intervensi pada proses pemilihan penyedia.

Di sisi lain, aspek pengawasan juga tidak berjalan optimal, karena kerap bersifat reaktif, tidak proaktif.

Banyaknnya persoalan ini, tentu saja merupakan cerminan dari sejumlah kasus yang ditangani KPK sebelumnya. Dari kajian KPK mencermati sejumlah korupsi yang terjadi sebelum dan sesudah adanya Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Sebelum ada Perpres tersebut, modus korupsi terjadi pada tahapan proses perencanaan anggaran dan perencanaan persiapan PBJ pemerintah.

Modusnya antara lain, proyek sudah dijual terlebih dahulu sebelum anggaran disahkan; persekongkolan antara DPR, kuasa pengguna anggaran K/L dan vendor; mark up harga; suap kepada pihak terkait; harga perkiraan sendiri yang dibuat pihak vendor; serta manipulasi pemenang.

Pada bagian ini, KPK telah menangani 30 perkara dengan 66 terpidana, dengan jumlah kerugian negara mencapai Rp 1,15 triliun dan jumlah uang pengganti lebih dari Rp 332,4 miliar.

Setelah diberlakukan Perpres tersebut, modus korupsi bergeser pada tahapan pelaksanaan PBJ, proses serah terima dan pembayaran serta proses pengawasan dan pertanggungjawaban.

Modus yang terjadi pada proses pelaksanaan serta proses serah-terima dan pembayaran, antara lain pengumuman terbatas; manipulasi pemilihan pemenang, dokumen lelang dan dokumen serah-terima; mark up harga serta suap kepada pihak terkait. Pada bagian ini juga terjadi persekongkolan antara Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pokja ULP/Pimpro, PPHP dan Bendahara.

Pada bagian KPK telah menangani 12 perkara dengan 33 terpidana, dengan jumlah kerugian negara mencapai Rp 166 miliar dan jumlah uang pengganti lebih dari Rp 75 miliar.

Sedangkan modus korupsi pada tahap pengawasan dan pertanggungjawaban, yakni adanya suap kepada auditor (BPK/BPKP) untuk menghilangkan temuan serta suap kepada penegak hukum untuk meringankan hukuman. Pada bagian KPK telah menangani 3 perkara dengan 8 terpidana.

Atas temuan tersebut, KPK mendorong dua rekomendasi strategis dan empat rekomendasi teknis. Dua rekomendasi strategis itu, yakni dilakukannya kajian sentralisasi PBJ dengan batasan tertentu. Hal ini disebabkan adanya persoalan jenis barang/jasa yang dihasilkan tidak terstandardisasi, dan adanya peluang penyimpangan pengadaan yang bernilai besar, kompleks dan strtegis.

Rekomendasi strategis lainnya, dilakukannya integrasi antara perencanaan dan penganggaran PBJ. Hal ini disebabkan tidak termonitornya besaran dan realisasi dan realisasi jumlah anggaran PBJ di Indonesia; tidak selarasnya perencanaan keuangan negara dengan realisasi belanja negara dalam PBJ pemerintah; dan tidak terdeteksinya penyimpangan perenanan PBJ secara dini.

Selanjutnya, dalam pelaksanaan rekomendasi, KPK akan melakukan pemantauan setiap tiga bulan sekali untuk memastikan rekomendasi berjalan dengan optimal guna meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan profesionalisme dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.