:
Oleh Eko Budiono, Kamis, 21 April 2016 | 02:48 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 152
Jakarta, InfoPublik - Revisi Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota (UU Pilkada) masih dibahas oleh pemerintah dan DPR.
Menurut Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), telah mengusulkan sembilang poin terkait revisi UU Pilkada.
Koordinator Nasional JPPR Masykurudin Hafidz mengungkapkan sembilan poin tersebut, pertama ambang batas pencalonan diturunkan. Untuk menciptakan keadilan antar partai politik dan calon perseorangan syarat prosentase kursi diturunkan.
Partai politik turun menjadi 10 - 15 persen dan calon perseorangan tetap 6,5 -10 persen berdasarkan data pemilih, kata Masykurudin di Jakarta, Rabu (20/4).
Kedua, kata dia seluruh pejabat publik yaitu Kepala Daerah, DPR, DPRD, DPD, TNI, POLRI, PNS, BUMN dan BUMD mundur ketika ditetapkan sebagai pasangan calon. Tujuannya untuk mengindari penggunaan fasilitas, kebijakan dan garis komando untuk dimanfaatkan dalam proses kandidasi dan menciptakan ruang yang sama dalam berkampanye.
Ketiga, pasangan calon berstatus bebas murni. Tidak diperkenankan kepada seseorang yang sedang menjalani masa bebas bersyarat mengikuti proses pencalonan dalam pilkada.
Keempat, terdapat sanksi administrasi terhadap calon dan partai politik yang terbukti memberi dan atau menerima imbalan mahar politik saat proses pencalonan. Sanksi tersebut berupa pembatalan sebagai pasangan calon.
Pemberlakuan sanksi pembatalan sebagai calon juga berlaku ketika menyampaikan laporan dana kampanye secara tidak benar dan manipulatif.
Kelima, dimasukkannya klausul larangan dan sanksi bagi pelaku politik uang. Setiap orang yang terbukti menjanjikan, memberi dan menerima uang atau barang dalam rangka mempengaruhi pilihan maka mendapatkan sanksi administratif berupa pembatalan calon dan diproses secara pidana.
Keenam, desain penegakan hukum Pilkada harus beriringan dengan tahapan dan terdapat kepastian waktu putusan. Sengketa pencalonan dipermudah dan efisien, misalnya upaya hukum pertama ke PTUN dan bisa kasasi ke MA atau upaya hukum ke Bawaslu dan keberatan ke MA.
Ketujuh, anggaran Pilkada dibebankan kepada APBN. Untuk pelaksanaan Pilkada 2018 dan seterusnya, APBN membiayai Pilkada serentak.
Kedelapan, fasilitas KPU dalam hal alat peraga kampanye dihilangkan, diganti dengan memperbanyak debat publik pasangan calon hingga level terendah dan memperbanyak penyebarluasan naskah visi, misi dan program pasangan calon.
Kesembilan, partai politik yang sedang bersengketa dilarang mengikuti pencalonan pilkada hingga mempunyai keputusan hukum tetap. Tidak ada lagi pendaftaran pasangan calon dari dua kepengurusan berbeda.