:
Oleh Yudi Rahmat, Sabtu, 19 Maret 2016 | 12:51 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 239
Jakarta, InfoPublik - Upaya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam mengadvokasi dan menghadirkan saksi korban tindak pidana perdagangan orang di Benjina, Maluku, mendapat perhatian komunitas internasional.
Salah satunya Global Fund to End Slavery (GFES) yang khusus berkunjung ke kantor LPSK untuk bertukar informasi mengenai penanganan saksi atau korban perdagangan orang yang dilakukan LPSK.
Menurut Direktur GFES wilayah Asia Mark B Taylor, banyak masalah perbudakan yang terjadi di seluruh belahan dunia. Akan tetapi, GFES memulainya dari Asia, khususnya di tiga negara, yaitu Filipina, Myanmar dan Indonesia.
“Kasus perbudakan modern banyak terjadi di tiga negara ini dan kasusnya pun cukup kompleks,” kata Mark didampingi Senior Executive, Data Development and Business Transformation GFES Jonathan Mead dan Senior Executive, Global System Strategy GFES Natalya Wallin saat berdiskusi dengan Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai beserta jajaran di kantor LPSK, Jakarta, Jumat (18/3).
Mark menuturkan, Indonesia menjadi salah satu negara yang dipilih karena selain kasus perdagangan orang cukup banyak, ada pula dukungan dari pemerintah dan masyarakatnya untuk segera menghentikan segala bentuk perbudakan modern ini.
Salah satu pihak yang dalam pengamatan GFES aktif mengadvokasi saksi korban perdagangan orang hingga ke luar negeri yaitu LPSK, seperti pada kasus perbudakan yang menimpa pekerja Myanmar.
Pada diskusi tersebut, Mark mengemukakan ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk melawan upaya perbudakan modern. Pertama, dari aspek hukum itu sendiri. Hukum dimaksud bukan hanya yang tertuang dalam konstitusi, tetapi juga aturan-aturan yang mengatur buruh migran juga sangat perlu dicermati, baik dari sisi administrasi maupun sistemnya, termasuk dimana dugaan perdagangan orang itu terjadi.
Hal selanjutnya yang bisa dilakukan, kata dia, melakukan kerja sama dengan dunia bisnis. Karena banyak anggapan, tindak pidana perdagangan orang merupakan bisnis sehingga untuk melawannya juga perlu dilakukan melalui bisnis.
Selanjutnya, masalah kebebasan ekonomi mengingat buruh juga menginginkan hidup yang lebih layak.
“Upaya melawan perbudakan penting tidak hanya bagi mereka yang sudah jadi korban, tetapi juga bagi masyarakat lain yang berpotensi menjadi korban,” ujar dia.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, LPSK hadir sebagai amanat Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang kemudian disempurnakan melalui hadirnya Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dari perubahan itulah, LPSK diamanahkan untuk fokus pada tindak pidana prioritas, dimana salah satunya tindak pidana perdagangan orang.
Tindak pidana perdagangan orang yang ditangani LPSK dan mendapatkan perhatian nasional, menurut Semendawai, yaitu kasus perbudakan yang menimpa sejumlah pekerja dari Myanmar oleh PT Pusaka Benjina Resources di Benjina, Tual, Maluku.
“Benjina merupakan kasus pertama perdagangan orang yang pelakunya berhasil diseret ke persidangan di era Presiden Jokowi,” ungkap Semendawai seraya menambahkan, meski pada awalnya kasus ini sempat mendapatkan perhatian nasional, tapi dalam proses penanganannya malah kurang mendapatkan perhatian dari media nasional.

Khusus dalam perlawanan terhadap kasus perbudakan modern, kata Semendawai, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
LPSK sendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, khususnya dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang bekerja sama dengan sejumlah kementerian terkait, termasuk sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang konsen dengan permasalahan ini.
“Indonesia sudah punya undang-undang khusus tentang pidana perdagangan orang. Kini, tinggal kemauan aparat untuk mengungkap kasusnya,” tutur dia.