:
Oleh Amrln, Selasa, 5 Januari 2016 | 09:18 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 397
Jakarta, InfoPublik - Penyelenggaraan Pilkada Serentak 9 Desember 2015 diklaim beberapa pihak berjalan lancar dan baik tanpa ada permasalahan berarti. Namun, di balik itu semua, terungkap banyaknya kecurangan yang dilakukan Pasangan Calon (Paslon) maupun Tim Sukses.
Demikian disampaikan Praktisi Hukum Andi P Syafrani pada diskusi publik bertema 'Membedah Pasal 158 Dalam Perspektif Demokrasi dan Konstitusi' di Jakarta, Senin (4/1). "Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak di 264 daerah pada 9 Desember 2015, terindikasi terjadi pelanggaran berat yang terstruktur, sistematis dan masif mempengaruhi hasil perolehan suara pasangan calon. Sudah sepatutnya sebagai tempat untuk mencari keadilan konstitusional, Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa dan mengadili seluruh perkara pilkada yang masuk secara adil tanpa dibatasi oleh ketentuan pasal 158 UU Pilkada," jelas Andi.
Kisruhnya Pilkada Serentak muncul secara gamblang di saat Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menetapkan pasangan yang memenangkan Pilkada. Hal penting yang harus diperhatikan dari penyelenggaraan Pilkada 2015 adalah, potensi terjadinya pelanggaran konstitusi karena munculnya Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada (UU Pilkada).
Saat ini sudah terlihat jelas, Pilkada serentak di 264 daerah pada 9 Desember 2015 lalu menyisakan masalah serius. Sebanyak 147 calon kepala daerah mengajukan permohonan sengketa pilkada yang sudah teregistrasi di Mahkamah Konstitusi.
Banyaknya pihak tidak puas dengan hasil pilkada ini karena menilai telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Calon kepala daerah yang mengajukan permohonan sengketa Pilkada sebagian besar menyayangkan keberadaan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada.
Kesalahan Sejarah
Andi menambahkan, ada hal yang perlu dicermati dari aspek historis pasal 158 UU No.8/2015. Pasal ini pada awalnya adalah pasal yang dilekatkan pada pasal 157 yang dianggap adil sebelum mengalami revisi. "Kita tahu, dalam UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa Pilkada diberikan kepada Mahkamah Agung (MA)," katanya.
Jadi, lanjut Andi, wewenang penyelesaian sengketa tersebut, pertama kali diberikan kepada MA setelah MK membuat keputusan 'melepaskan' proses sengketa pilkada kepada pembuat hukum. Karena menurut tafsiran MK, Pemilu Kepala Daerah bukan pemilu seperti yang dimaksud dalam konstitusi. Inilah kemudian yang menyebabkan Perppu No.1/2014 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota itu muncul.
"Kewenangan itu diserahkan kepada MA sampai nanti membentuk pengadilan khusus untuk menangani sengketa Pilkada," tuturnya.
Ketika sengketa pilkada masuk ke wilayah MA, ungkap Andi, pada waktu itu ada proses perdebatan dalam pembuatan UU ini, mengingat MA belum berpengalaman dalam menangani sengketa pilkada. Kemudian, ketika dikasih kewenangan, MA langsung menangani pilkada serentak. Karena itulah MA memformulasi tawaran, dan muncullah pasal 158.
Ia menilai, kalau MK sudah pernah menangani serentak pileg, jadi MK sudah berpengalaman mengelola ratusan perkara dalam satu waktu. Sedangkan MA belum ada pengalaman menangani perkara menumpuk.
"Jangankan menumpuk, satu perkara saja di MA bisa memakan waktu tahunan. tiba-tiba mendapat kewenangan secara spesifik yang sangat besar. Kira-kira itu konteks historis, yakni membatasi perkara yang masuk karena adanya keterbatasan dari MA itu sendiri," jelasnya.
Dipaparkannya, ketika Perppu No.1/2014 tentang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota ditetapkan menjadi UU No.1/2015 dan diubah lagi menjadi UU No.8, dikembalikanlah wewenang yang sudah ditangan MA ke MK. Pada saat itu dilakukan pertemuan- pertemuan khusus utnuk meyakinkan MK bahwa saat ini tidak ada satu institusipun yang mampu menyelesaikan perkara sengketa pilkada, apalagi serentak, selain MK itu sendiri.
Akhirnya, MK pun menarik putusan sebelumnya, yang menyatakan bahwa sengketa pilkada bukan kewenangan MK, kembali menjadi kewenangan MK meskipun terpaksa hanya karena alasan kewenangannya diberikan oleh UU.
"Cerobohnya, ketika wewenang ini dikembalikan ke MK, pasal 158-nya lupa untuk dicopot, karena itulah menurut kita ini kesalahan sejarah dari pembuat UU dan akibatnya sekarang baru kita rasakan. dan ini harus segera diluruskan agar jangan sampai ada persoalan-persoalan yang sangat substansial seperti ini lepas dari perhatian, yang dilihat hanya aspek pokoknya sedangkan aspek tehnisnya tidak diperhatikan," tegas Andi.
Dalam perjalanan selanjutnya, menurut Andi, muncul kembali permasalahan serius, yakni tafsiran MK terhadap pasal 158. Pemahaman pembuat UU, yang kita secara umum kalau membaca pasal itu, bahwa selisih persentase itu dilihat dari hasil keseluruhan, setelah KPU menetapkan inilah diambil secara keseluruhan, 100 persennya itu adalah 100 persen dari suara sah yang masuk.
Kemudian MK, tanpa diawasi oleh publik, bulan November 2015 kemarin, mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (Peraturan MK) yang menegaskan tafsiran versi MK dari pasal 158, yang tafsirannya bukan memperluas, bukan mempermudah, bukan memperlebar rakyat untuk menggunakan hak konstitusinya malahan mempersempit, membatasi hak konstitusi publik, yang menyatakan bahwa 100 persennya itu adalah suara terbanyak.
"Jadi dua persen yang kita bayangkan - dari selisih misalnya suara sah 100.000 berarti dua persennya pemahaman kita 2.000, tapi menurut versi MK dua persennya itu bisa lebih kecil dari 2.000, karena tergantung perolehan suara terbanyak," katanya.
Dengan situasi seperti ini, menurut pandangan Andi, kita harus mendorong Presiden bahwa masalah terkait pasal 158 adalah masalah nasional yang sangat serius, karena menyangkut penegakkan demokrasi dan konstitusi.
"Jangan sampai demokrasi yang telah dibangun menjadi rusak. Kita dorong Presiden agar mengeluarkan Perppu untuk mencabut pasal 158, yang otomatis akan membatalkan Peraturan MK tersebut," pungkasnya.