KEN Minta Pemerintah Dorong Peningkatan Kegiatan Survei Seismik

:


Oleh Wandi, Kamis, 20 Oktober 2016 | 22:19 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 603


Jakarta, InfoPublik - Komite Energi Nasional (KEN) meminta pemerintah mendorong peningkatan kegiatan survei Seismik untuk mendongkrak produksi Migas Nasional. Dengan begitu investor di industri ini memiliki gambaran jelas mengenai peta cadangan untuk dieksplorasi.

"Selain bertujuan mengurangi biaya, pemerintah juga diharapkan mengedepankan jasa survei seismik lokal yang diyakini memiliki harga dan kualitas kompetitif," kata anggota KEN Rovicky Dwi Putrohari melalui siaran persnya, Selasa (18/10).

Penegasan ini disampaikannya menyikapi penurunan lifting migas nasional karena rendahnya kinerja survei seismik didasarkan data Satuan Kerja Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Rendahnya aktivitas survei seismik juga menjadi salah satu penyebab rendahnya cadangan terbukti Migas (proven reserve).

Tercatat, sampai paruh pertama tahun ini, aktivitas survei seismik baru mencakup dua kegiatan. Padahal dalam dokumen rencana kerja dan anggaran (work plan and budget) KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama), survei ditargetkan mencapai 33 kegiatan. Survei non-seismik juga terpuruk dari rencana sebesar 13 kegiatan, realisasinya hanya empat kegiatan.

Karena itu, tambah Rovicky, ada beberapa kendala dalam realisasi program kerja KKKS dan SKK Migas. Salah satunya memang alasan klasik, rendahnya harga minyak yang tidak diikuti turunnya harga atau biaya yang dikenakan dari perusahaan "oil-services".

Menurut dia, dibandingkan dengan dua tahun lalu, harga minyak sudah sekitar 50 persennya. Namun biaya servis masih bertahan di sekitar 60 sampai 70 Dollar AS per Barrel harga saat itu.

“Selain itu karena beberapa kapal serta tool/equipment yang sudah terlanjur diekspor menjadikan biaya mobilisasi lebih tinggi,” ungkap Rovicky yang juga mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

Artinya, lanjut dia, operator migas tidak mampu menurunkan biaya setara dengan turunnya harga minyak. “Tentu isunya menjadi sensitif ketika cost recovery perbarel ekivalen menjadi relatif tinggi,” tambahnya.