:
Oleh Putri, Sabtu, 11 Juni 2016 | 11:36 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 323
Jakarta, InfoPublik - Sidang Legal Commitee (Komite Hukum) Organisasi Maritim Internasional yang ke 103 dilaksanakan pada 8-10 Juni 2016 di Markas Besar IMO, London.
Sidang ini merupakan pertemuan rutin tahunan yang dihadiri para 171 negara anggota Komite Hukum. Anggota IMO memiliki tugas untuk menangani setiap masalah hukum dalam lingkup organisasi.
Delegasi Indonesia terdiri dari Perwakilan Pejabat dari KBRI London dan perwakilan dari beberapa instansi pemerintah pusat di Jakarta yang dipimpin Minister Counsellor KBRI London, Dindin Wahyudin dan Atase Perhubungan KBRI London Simson Sinaga.
Pada kesempatan tersebut, Dindin Wahyudin telah menyampaikan dan memperkenalkan isi dari dokumen Joint-Submission tersebut kepada Komite Hukum IMO dan mendapat respon yang positif dari beberapa negara anggota IMO.
"Bukan hal yang mudah untuk menginisiasi pembentukan sebuah rezim internasional baik itu konvensi maupun resolusi pada IMO. Bahwa hal tersebut tidaklah mematahkan semangat Indonesia untuk tetap memperjuangkan kepentingannya di dunia internasional," katanya melalui keterangan resmi di Jakarta, Jumat (10/6).
Upaya Indonesia tersebut, menurut Dindin sejalan dengan semangat Pemerintah Indonesia untuk menjadi poros maritim dunia atau dikenal dengan istilah World Maritime Fulcrum.
Salah satu agenda utama Indonesia adalah mengenai Joint-Submission antara Indonesia dan Denmark. Pada Sidang Komite Hukum IMO tahun ini, Indonesia telah menyampaikan komitmennya untuk tetap mempertahankan pembahasan isu tersebut yang sudah berjalan selama tujuh tahun ini.
Hal tersebut dibuktikan dengan diterimanya dokumen Joint-Submission Indonesia dan Denmark oleh Komite Hukum IMO. Dokumen tersebut berisi mengenai revisi terhadap pedoman pengaturan perjanjian bilateral atau regional yang mengatur tentang pertanggungjawaban dan kompensasi pencemaran lintas batas negara yang berasal dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai.
Pembentukan sebuah pedoman atau kerangka aturan internasional tersebut dilatarbelakangi oleh kasus Montara yang terjadi di Laut Timor, Nusa Tenggara Timor pada tahun 2009, dimana tidak ada sebuah aturan internasional yang mengatur tentang pemasalahan mengenai tanggung jawab dan kompensasi yang berhubungan dengan kerusakan pencemaran lintas batas dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, sehingga menyebabkan penyelesaian kasus Montara menjadi berlarut-larut.