:
Oleh Eko Budiono, Rabu, 9 Maret 2022 | 08:33 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 552
Jakarta, InfoPublik - Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) diimbau menghadapi dan menyikapi krisis Myanmar, sama seperti Uni Eropa (EU) menghadapi krisis di Ukraina pascainvasi Rusia.
Hal tersebut disampaikan Menteri Kerja Sama Internasional pemerintah bayangan Myanmar (NUG), Sasa, melalui keterangan tertulis, usai diskusi daring yang bertajuk “Speaking-Up: ASEAN Reactions to the Ukraine Crisis” di Jakarta, Selasa (8/3/2022).
“Bagaimana respons ASEAN terhadap krisis Myanmar, kita harus berkaca. Mari lupakan sejenak respons ASEAN untuk Ukraina, bagaimana respons ASEAN terhadap krisis di Myanmar. Kita harus belajar dari EU, responsnya sangat baik untuk Ukraina,” kata Sasa.
Menurut Sasa, sejumlah 1,2 juta warga Ukraina sudah mengungsi ke negara-negara tetangga akibat konflik dengan Rusia hanya dalam beberapa hari, sementara jutaan pengungsi juga di Myanmar akibat krisis yang disebabkan militer selama bertahun-tahun.
“Hingga saat ini, banyak dari mereka tidak diakui sebagai pengungsi karena tetangga kami tidak mengakuinya. Masyarakat internasional pun tidak dapat memberikan bantuan kemanusiaan,” ujarnya.
Sasa menyatakan ASEAN harus belajar dari EU dalam menghadapi krisis yang serupa, dan tindakan masyarakat internasional yang sangat terkoordinasi dengan baik untuk Ukraina yang konfliknya baru berlangsung 12 hari.
“Sanksi internasional untuk Federasi Rusia sangat terkoordinasi dan keras, bahkan Singapura juga menjatuhkan sanksi. Tapi kenapa tidak ada yang menjatuhkan sanksi untuk junta militer Myanmar,” katanya.
Sasa menyebutkan ada sekitar 2.000 warga yang tewas Februari tahun lalu di bawah junta militer Myanmar, dan sejumlah 25.000 warga Rohingya yang kehilangan nyawanya.
“Saatnya ASEAN untuk mengambil kepemimpinannya dalam menegakkan keadilan dan respons yang jelas. Ini tentang tirani versus kebebasan, demokrasi versus kediktatoran,” ujarnya.
ASEAN telah merumuskan Konsensus Lima Poin yang disepakati dalam ASEAN Leaders Meeting di Jakarta pada 24 April 2021, namun belum sepenuhnya diimplementasikan oleh junta militer Myanmar.
ASEAN, dalam pernyataannya, menegaskan kembali komitmen dan kesiapan mereka untuk membantu Myanmar sesuai kehendak rakyat Myanmar berdasarkan Konsensus Lima Poin dan Piagam ASEAN.
ASEAN juga meminta semua pihak untuk segera mengembalikan situasi ke kondisi normal dan mencegah penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Myanmar.
Perdamaian dan rekonsiliasi nasional hanya dapat dicapai melalui solusi politik inklusif dengan melibatkan semua pihak terkait, kata ASEAN.
ASEAN menyambut baik dukungan berkelanjutan dari mitra eksternal terkait implementasi Konsensus Lima Poin.
“Indonesia memberikan perhatian yang besar terkait dengan momen satu tahun pengambilalihan kekuasaan oleh militer Myanmar, yang tentu dikecam oleh Pemerintah Indonesia,” kata Kepala Biro Dukungan Strategis Pimpinan (BDSP) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Achmad Rizal Purnama.
Rizal kembali menegaskan sikap Indonesia yang secara konsisten menyuarakan pentingnya penerapan konsensus berisi lima poin, serta menyayangkan tak adanya kemajuan dari pelaksanaan konsensus tersebut.
“Di saat yang sama juga mendesak militer Myanmar untuk melaksanakan Konsensus Lima Poin sesegera mungkin, khususnya memberikan akses kepada utusan khusus ASEAN untuk berkunjung dan bertemu dengan seluruh pihak untuk berkomunikasi dialog inklusif,” ujarnya.
Konsensus Lima Poin terdiri dari, pertama, kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya.
Kedua, dialog konstruktif antara semua pihak terkait untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat.
Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN.
Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre.
Kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait.
(Foto: ANTARA)