:
Oleh Eko Budiono, Kamis, 18 Juni 2020 | 22:01 WIB - Redaktur: Untung S - 647
Jakarta, InfoPublik - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyatakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-36, pada 26 Juni 2020, tidak memprioritaskan isu Laut China Selatan.
Meski, sempat terjadi sengketa Laut China Selatan antara China dan negara ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, dan Indonesia.
"Dalam KTT nanti tidak ada suatu isu khusus yang akan dibahas, tapi jadi terbuka dan terserah setiap kepala negara (mau mengangkat isu apa)," kata Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kemlu, Jose Tavares, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (18/6/2020).
Menurut Jose, tidak menutup kemungkinan bahwa Presiden Joko Widodo akan mengangkat isu Laut China Selatan dalam KTT ASEAN. Jose mengakui bahwa beberapa insiden terjadi di Laut China Selatan dalam beberapa waktu terakhir ini.
Namun, menurutnya, hal itu tidak menyurutkan ASEAN dan China untuk menyelesaikan kode etik atau code of conduct (CoC) Laut China Selatan yang sudah belasan tahun digodok.
Ia mengatakan ASEAN-China tetap optimistis untuk menyelesaikan CoC yang diharapkan akan menjadi pedoman negara-negara bertindak di LCS. Tujuan utama CoC dibentuk adalah agar menghindari konflik terutama antara negara yang memiliki sengketa di perairan LCS.
"Apakah kami optimis? Tetap harus. Komitmen dan political will negara-negara sudah ada. PM China Li Keqiang bahkan sudah menargetkan tahun depan (CoC) selesai," ujar Jose.
Jose menuturkan sejauh ini perumusan CoC sudah sampai tahap pembacaan draft isi atau first reading dan itu sudah rampung. Kini, ASEAN-China tengah memasuki tahap second reading.
Berdasarkan rencana awal, Jose mengatakan empat pertemuan dijadwalkan berlangsung tahun ini untuk melanjutkan second reading.Namun, Jose menuturkan akibat pandemi virus corona (Covid-19), tahap second reading CoC Laut China Selatan tertunda. Sebelum pandemi, Jose menjelaskan bahwa beberapa pertemuan ASEAN-China sempat dijadwalkan berlangsung untuk melanjutkan second reading CoC.
Keempat pertemuan itu semula dijadwalkan berlangsung di Brunei pada Februari lalu, di Filipina pada Mei lalu, di Indonesia pada Agustus mendatang, dan di China dua bulan setelahnya.
"Tapi karena Covid-19 rangkaian pertemuan itu tertunda dan setelah Covid-19 selesai baru kita akan mulai kembali negosiasi second reading. Negosiasi CoC tidak bisa virtual, sulit sekali melakukan negosiasi ini secara virtual. Jadi kita tunggu sampai suasana membaik baru mulai kembali perundingan CoC," katanya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengatakan penamaan Laut Natuna Utara menjadi upaya untuk mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Langkah tersebut dilakukan di tengah sikap agresif China yang mengklaim Laut China Selatan sebagai wilayah mereka.
"Penamaan tersebut ada proses yang memang harus kita lalui, antara lain untuk me-register di organisasi yang namanya IHO yaitu International Hydrographic Organization, jadi itu proses yang harus kita lalui pada saat akan mengajukan nama tersebut," ujar Retno.
"Tetapi sekali lagi kalau bicara mengenai isu Laut China Selatan posisi kita sangat konsisten, konsistensi ini saya kira perlu mendapatkan dukungan dari semua elemen bangsa agar semakin kuat," tegasnya.
Retno mengatakan situasi di Laut China Selatan saat ini masih diwarnai adanya proyeksi dua kekuatan besar. Dia menegaskan keputusan Indonesia pun sesuai dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS 1980.
Sedangkan pelaksana tugas (Plt) juru bicara Kemlu, Teuku Faizasyah menyatakan, Indonesia tidak mengakui klaim China.
"Indonesia tidak memiliki permasalahan perbatasan laut dengan RRT. Indonesia juga tidak mengakui klaim China atas ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) berdasarkan klaim yang tidak dikenal oleh UNCLOS," tambahnya. (Foto: Kemlu)