:
Labuan Bajo, InfoPublik - Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satu provinsi yang ada di Indonesia memiliki keunikan budaya yang mempesona, salah satunya adalah alat musik Sasando. Lewat ajang Spouse Program, alat musik Sasando pun menyapa para delegasi pertemuan kedua Sherpa G20 di Labuan Bajo.
Acara itu merupakan rangkaian dari 2nd Sherpa Meeting Presidensi G20 Indonesia yang diadakan di Plataran, Atlantis Beach, Labuan Bajo pada Senin (11/7/2022).
Sasando yang bentuknya seakan-akan memiliki sayap merupakan alat musik yang dimainkan dengan dipetik, layaknya instrumen petik lainnya seperti gitar ataupun harpa.
Tetapi, keunikannya adalah bagian utama Sasando berbentuk tabung panjang seperti harpa yang biasanya terbuat dari bambu. Sasando mempunyai ruang resonansi suara yang terbuat dari anyaman daun lontar yang sering disebut haik.
Jegril Pah (42), seniman Sasando di Labuan Bajo mengatakan secara harfiah nama Sasando berasal dari bahasa Rote, yaitu “Sasandu” yang berarti “bergetar atau berbunyi”. Sasando itu sering dimainkan untuk mengiringi nyanyian, syair, tarian tradisional dan menghibur keluarga yang berduka.
Ia menuturkan, pada awalnya Sasando disebut Sasandu, hanya saja ketika dahulu orang luar datang ke NTT melafalkan Sasandu itu dengan Sasando. Kemudian mereka bercerita ke teman-temannya hingga ke media dengan lafal Sasando. Karena pelafalannya, banyak yang menulis Sasandu menjadi Sasando, termasuk media saat itu. Jadi yang terkenal adalah Sasando.
"Hanya saja tidak masalah bagi kami, namun ketika orang bertanya kami patut menjelaskan yang sebenarnya. Saat ini, Sasando tidak hanya terkenal dan terdapat di daerah Pulau Rote saja, namun juga terdapat di daerah lain di Nusa Tenggara Timur seperti Kupang, Labuan Bajo dan daerah lainnya," kata Jegril saat ditemui di Spouse Program, Senin (11/7/2022).
Jegril menceritakan mengenai kisah terciptanya Sasando. Menurutnya, alat musik itu ditemukan oleh dua penggembala. Suatu ketika, para gembala itu membawa ternaknya ke sebuah danau agar ternaknya bisa meminum air di danau. Ketika ternaknya sudah minum, salah satu gembala juga ingin minum. Kebetulan di sekitar mereka ada daun lontar. maka dijadikanlah daun lontar itu sebagai wadah air minum. Daun lontar dilipat hingga membentuk seperti mangkuk.
"Ketika melipat daun kelor tersebut, serat daunnya ada yang melintang dan terbentang. Ketika serat daun yang melintang tersebut tersentuh ibu jari si gembala, ternyata mengeluarkan bunyi," ujarnya.
Ada juga versi lain mengenai sejarah tentang alat musik itu, di antaranya konon ada seorang pemuda bernama Sangguana pada 1650-an terdampar di Pulau Ndana. Sangguana memiliki bakat seni, sehingga penduduk membawanya ke istana, kemudian putri istana terpikat dan meminta Sangguana menciptakan alat musik. Sangguana pun bermimpi pada suatu malam sedang memainkan alat musik yang diciptakannya, kemudian diberi nama sandu (bergetar).
Jegril yang juga pengrajin Sasando menambahkan, alat musik Sasando juga mencerminkan bahwa meskipun perkembangan teknologi sudah maju, ternyata manusia tidak bisa terlepas dari alam. Karenanya, manusia wajib melestarikan apayang ada di alam ini.
"Bahan Sasando terdiri dari bahan yang bisa di dapatkan secara alami yakni daun lontar, bambu, dan kayu. Sedangkan string (dawai) dan tautannya merupakan hasil dari seuah teknologi. Perpaduan antara bahan yang natural dan bahan hasil dari teknologi ini memberikan kita pelajaran bahwa kita tidak pernah bisa lepas alam, karena itu kelestarian alam harus kita jaga," ucapnya.
Untuk itu, disela-sela kesibukannya, Jegril pun menyempatkan diri dan waktu untuk mengajar Sasando bagi generasi muda, agar para generasi muda tidak lupa dengan budayanya sendiri.
"Meski banyak alat musik dari luar, kita harus melestarikan alat musik tradisional. Orang luar saja sangat antusias dengan alat musik Sasando, seharusnya pula ita sebagai anak bangsa bisa melestarikan dan memperkenalkan keunikan budaya sendiri ke kancah iternasional," kata Jegril.
Jegril pun berharap, Presidensi G20 Indonesia, pelaksanaan 2nd sherpa Meeting ini bisa menjadi momentum untuk dapat memperkenalkan Sasndo di tingkat internasional dan bisa mendorong semangat generasi muda NTT untuk melestarikan, mengembangkan dan melindungi alat musik ini sebagai kebanggaan daerah.
Foto: Amiri Yandi/InfoPublik