:
Oleh Pasha Yudha Ernowo, Senin, 11 Juli 2022 | 16:48 WIB - Redaktur: Untung S - 152
Bali, InfoPublik – Indonesia merasa perlu menaikkan isu mitigasi risiko korupsi pada energi terbarukan ke dalam forum G20, karena seluruh dunia ingin bertransisi ke renewable energi. Isu penting itu pun telah dibahas dalam forum G20 Anti-Corruption Working Group (ACWG).
Hal itu diungkapkan, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, dalam keterangan tertulis yang diterima Infopublik, Senin (11/7/2022).
Lanjut Pahala, jika Indonesia mengikuti transisi energi terbarukan maka akan memakan biaya yang mahal dibanding energi tradisional seperti batu bara. Sehingga, KPK khawatir hal itu akan berdampak pada kesejahteraan rakyat.
Pahala mendorong, kementerian/lembaga terkait beserta para pemangku kepentingan, bersama-sama menyusun regulasi yang transparan agar menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
“Jika mengikuti transisi energi terbarukan, dipercaya biayanya akan lebih mahal dari energi batu bara. Oleh karenanya KPK mendorong adanya penentuan kebijakan harga maupun proses bisnisnya. Dimana hal itu semua sangat ditentukan oleh sebuah regulasi,” ungkapnya.
Pahala menjelaskan proses penentuan kebijakan dan harga pada energi terbarukan harus dibicarakan secara serius oleh berbagai pemangku kepentingan. Lantaran selain akan diterapkan dengan single buyer, juga menurut Pahala, jika sekali harga ditentukan maka rakyat akan menikmati harga ini berpuluh-puluh tahun lamanya. Inilah yang akan menjadi potensi korupsi yang besar pada bidang energi terbarukan di Indonesia.
“Pada forum G20 banyak negara kondisinya berbeda. Di Indonesia biayanya akan mahal dan itu tidak boleh sampai dikorupsi,” paparnya.
Akademisi sekaligus Direktur Pusat Kajian dan Inovasi Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Tumiran, menambahkan, terkait penetapan pajak dan kebijakan fiskal dalam energi terbarukan juga perlu dikaji ulang.
Menurutnya, teknologi energi terbarukan yang masuk ke Indonesia tidak bisa dihitung secara utuh saat dikenakan pajak, melainkan dikenakan secara per-bagian sparepart-nya. Dan itu, menurut Tumiran yang akan menjadi akumulasi pajak yang besar.
“Kebijakan fiskal sering kali belum berpihak. Misalnya satu perangkat panel saja sparepart-nya susah sekali masuk dari luar dalam bentuk utuh. Jadi akumulatif pajak jadi besar,” imbuhnya.
Menurut Tumiran, peralihan energi terbarukan mendatangkan hal positif bagi Indonesia. Selain ramah lingkungan juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi generasi muda Indonesia. “Harus kita yakini dan kita dorong, kita manfaatkan terus dan kita dukung agar pengembangan energi terbarukan menciptakan lapangan pekerjaan baru,” ungkapnya.
Senior VP Sustainability, ESG, Maja De Vibe, mengatakan keputusan KPK memilih topik pembahasan terkait mitigasi risiko korupsi di sektor energi terbarukan dalam forum ini sangat tepat dan disambut positif. Alasannya, dunia yang tengah beralih ke energi terbarukan banyak yang belum mematangkan kebijakannya.
Maja mengatakan pembahasan itu penting dari perspektif etika karena tidak akan ada transisi yang adil jika pendapatan yang dihasilkan dari ledakan itu disalurkan dengan cara yang tidak teratur.
“Pembahasan itu sangat penting terkait tata kelola dan potensi korupsi. Agar ledakan sumber daya alam yang dulu tidak terulang. Hal ini juga penting dari perspektif pertumbuhan operasional, karena penyebaran energi terbarukan bergantung pada dukungan lokal yang akan lebih sulit diperoleh jika risiko korupsi ini tidak ditangani,” paparnya.
Pahala kembali mengatakan KPK perlu melakukan upaya pencegahan dengan merumuskan dan merangkum semua potensi korupsi pada isu energi terbarukan. “Ibarat di ruang gelap, jika ada 100 orang di dalamnya dan diumpakan itu sebuah sistem, dan ingin kita rapikan, maka harus dinyalakan lampunya dengan terang benderang. Itulah yang KPK inginkan, dengan mendorong pembuatan regulasi yang transparan, agar proses bisnis energi terbarukan di Indonesia bersih bebas dari korupsi,” tutupnya.
Foto: Dok KPK