W20 Manokwari, Fokus Kesetaraan Akses dan Inklusivitas Ekonomi terhadap Perempuan

:


Oleh Dian Thenniarti, Rabu, 8 Juni 2022 | 21:08 WIB - Redaktur: Untung S - 306


Jakarta, InfoPublik - Upaya menghilangkan akses yang tidak setara bagi perempuan pedesaan dan perempuan penyandang disabilitas menjadi fokus bahasan pada pertemuan keempat Women20 (W20) di Kota Manokwari, Papua Barat, yang di gelar pada 8-9 Juni 2022.

Chair W20 Indonesia, Hadriani Uli Silalahi, menjelaskan bahwa W20 Manokwari fokus membahas seputar advokasi bagi perempuan pedesaan, dan perempuan penyandang disabilitas dalam upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif serta akses untuk membangun ketahanan.

"Termasuk dalam pembahasan, pertemuan itu juga akan mendorong peningkatan literasi digital dan akses finansial bagi perempuan pedesaan, dan perempuan penyandang disabilitas. Hal itu penting agar mereka bisa berpartisipasi dalam perekonomian dan membangun ketahanan diri dan keluarganya," jelasnya pada Rabu (8/6/2022).

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Kowani Giwo Rubianto Wiyogo juga menekankan pada pemberdayaan perempuan yang kurang beruntung, termasuk mereka yang membutuhkan akses digital pendidikan dan perawatan kesehatan yang inklusif sehingga peran mereka di sektor ekonomi tidak terhambat oleh kondisi kurangnya akses.

"Menurut situasi dan data saat ini, perempuan yang tinggal di daerah pedesaan terdiri dari 25 persen dari populasi global dan 43 persen dari tenaga kerja pertanian dunia, namun sayangnya perempuan pedesaan masih tertinggal dalam hal mendapatkan akses kepada sumber daya pendidikan, pertanian, kredit, dan hak warisan," ucapnya.

Selain itu, perempuan pedesaan menghadapi kesenjangan digital karena kurangnya listrik, tidak dapat diaksesnya sinyal seluler, infrastruktur, dan kualitas yang rendah di dalam bidang ekonomi. Kemampuan perempuan untuk memeroleh peluang dan akses terhadap sumber daya ekonomi masih rendah.

"Kelompok perempuan lain yang kami fokuskan adalah perempuan penyandang disabilitas dengan proporsi jumlah perempuan disabilitas lebih besar daripada laki-laki yaitu 9,32 juta atau 55 persen. Perempuan penyandang disabilitas memiliki berbagai kerentanan yang diawali dengan diskriminasi, serta dalam berpartisipasi pada pembangunan dan perekonomian terutama karena kondisi gender dan disabilitas mereka yang dipandang negatif," jelas Giwo.

Kemudian dengan kerentanan akibat kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan pada akhirnya menempatkan perempuan penyandang disabilitas pada posisi ketergantungan pada orang lain.

Oleh karena itu, Giwo berpendapat bahwa harus ada upaya yang lebih besar yang perlu dilakukan, melalui sinergi, gotong royong, dan kerja sama untuk memastikan bahwa perempuan pedesaan tidak tertinggal, dan menjadi bagian dari ekonomi inklusif, serta upaya untuk kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif dan responsif gender, infrastruktur, peluang ekonomi, dan pemanfaatan teknologi digital.

"Kita perlu bersama-sama dimulai pada saat ini saling ambil bagian dalam menghilangkan hambatan bagi perempuan yang kurang beruntung, terutama penyandang disabilitas, dan perempuan di daerah pedesaan dengan meningkatkan literasi digital dan keuangan bagi mereka memasuki pasar tenaga kerja, dan mengamankan basis ekonomi yang cukup untuk menopang kehidupannya," katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia, mengungkapkan kenyataan bahwa perempuan penyandang disabilitas mengalami diskriminasi berlapis karena sebagai perempuan dan juga sebagai penyandang disabilitas. Sehingga perempuan penyandang disabilitas mengalami berbagai kerentanan terkait dengan kemiskinan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya dan hubungan keluarga.

"Perempuan penyandang disabilitas mengalami stigma, yang merupakan salah satu masalah terbesar dialami oleh perempuan dengan disabilitas. Mereka dianggap sebagai aseksual dan tidak mampu menikah, melahirkan anak, mengurus keluarga dan banyak yang belum mengenyam pendidikan formal," katanya.

Sehingga mereka membutuhkan pendekatan inklusif yang memastikan pemenuhan hak-haknya baik yang berada di perkotaan sampai wilayah terluar Indonesia. Pemenuhan secara khusus hak penyandang disabilitas harus dilakukan dengan pandangan bahwa mereka merupakan bagian integral dari pembangunan yang adil, setara dan tidak diskriminatif.

Namun hal itu hanya bisa dilakukan dengan kesadaran, bahwa perempuan penyandang disabilitas adalah perempuan yang setara dan merupakan warga negara.

"Dengan mendorong inklusi yang mengamanatkan kesadaran, aksesibilitas, keterlibatan dan dukungan bagi penyandang disabilitas baik di wilayah perkotaan sampai pedesaan bahkan sampai wilayah terluar, terpencil dan tertinggal. Maka ini akan bisa terdukung," tutup Dante.