:
Oleh Taofiq Rauf, Minggu, 17 April 2022 | 06:12 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 236
Jakarta, InfoPublik – Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, mengatakan, Indonesia harus bisa memaksimalkan energi matahari dengan lebih baik. Dari hasil kajian, kata dia, potensi teknis Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia besarnya antara 3.400 sampai 20.000 gigawatt.
“Namun pemanfaatan energi surya masih kecil sekali di Indonesia. Kira-kira baru 200 mega. Jadi dari potensi paling rendah 3.300 gigawatt. Artinya, pemanfaatan kita kurang dari 6%,” katanya saat dihubungi, Sabtu (16/4/2022) malam.
Diakui ada sejumlah kendala belum maksimalnya pemanfaatan energi surya itu. Salah satunya, Indonesia yang masih memilih mengembangkan energi fosil khususnya batubara karena melimpahnya tambang di beberapa wilayah tanah air.
“Di tahun 2006 ada fast track program tahap 1, lalu ada tahap 2. Untuk tahap 1 itu PLTU programnya semua 10.000 megawatt. Fast track tahap 2 mencapai 20.000 megawatt, tapi 10.000-nya dari energi terbarukan. Kemudian di era Pak Jokowi 30.000 megawatt yang sebagian besar atau 60 persennya adalah PLT. Jadi, kita masih mengembangkan besar-besaran (energi fosil). Oleh karenanya, di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), energi terbarukannya menjadi marjinal,” ujarnya.
Kendala lain, kata dia antara tahun 2010-2015 harga PLTS di Indonesia masih relatif mahal. Walaupun, secara global sejak tahun 2010-2019, harga teknologi surya untuk investasi biaya sudah turun lebih dari 90 persen.
“Oleh karenanya saya mengimbau bahwa untuk mencapai melakukan transisi energi, maka energi surya yang harus dimanfaatkan secara optimal. Karena potensi yang dimiliki Indonesia sumber dayanya besar sekali. Dari segi harga juga saat ini sudah bersaing antara energi fosil dan surya,” ujarnya.
Menurutnya, dalam mengembangkan energi surya dapat dilakukan secara gotong royong baik pemerintah dan masyarakat. Berbeda ketika membangun PLTU yang beban biaya ditanggung pemerintah dan mengandalkan investasi luar negeri.
“Yang penting adalah bahwa mengembangkan energi surya itu bisa dilakukan secara gotong royong. Contohnya, untuk membangun PLTU investasinya sekitar USD2 miliar atau setara Rp28 triliun. Tapi kalau PLTS itu bisa dibangun mulai dari skala mikro, kecil, besar atau utility skill itu bisa dibangun. Artinya bisa dibangun sendiri oleh masyarakat dengan memasang alat di atap rumahnya,” katanya.
Pengembangan energi surya, sambung Fabby, bersifat inklusif karena bisa dilakukan oleh kalangan masyarakat. Dilihat dari segi biaya investasinya pun dapat ditanggung bersama atau tanggung renteng.
“Kalau membangun PLTU itu perlu Rp 28 triliun dan pendanaan internasional. Investor minta jaminan dari pemerintah, lalu listriknya harus dibeli oleh Perusahaan Listri Negara (PLN). Berbeda dengan PLTS yang bersifat inklusif dan gotong royong karena bisa lebih kecil dan banyak serta diusahakan oleh masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah tidak perlu repot memberi jaminan besar. Ini yang menjadi kekuatan energi surya karena bisa dipasang lebih cepat juga waktunya,” tutupnya.
Foto: Antara