:
Oleh MC KAB SUMENEP, Kamis, 4 Juni 2020 | 06:10 WIB - Redaktur: Yudi Rahmat - 2K
Sumenep, InfoPublik - Sejarah selalu menarik dan asyik dibincang. Kini dan kuna memang memiliki jarak mutlak. Namun dengan melalui pintu masuk sejarah, semua terasa mudah.
Sebelum masa kemerdekaan, wilayah nusantara terdiri dari beberapa daerah yang memiliki sistem pemerintahan tersendiri.
Daerah-daerah tersebut terdiri dari kerajaan besar dan kecil. Perluasan wilayah juga tak jarang dengan adu kekuatan. Setiap perubahan zaman memiliki kisahnya masing-masing. Penuh dengan dinamika sekaligus romantika.
Di Madura, yang secara historis berkaitan erat dengan Jawa, situasi dan kondisi pemerintahannya tak jauh beda. Perbedaannya hanya persoalan skala besar dan kecil. Sumenep, sebagai salah satu wilayah penting dan tertua di antara anak-anak Madura jelas memiliki tatanan sendiri, namun bukan tersendiri.
Media Center mencoba mengulas sejarah sistem pemerintahan di Madura Timur berdasarkan oretan tinta sejarah.
Sumenep, dalam konteks kebudayaan, secara garis besarnya mengalami sedikitnya empat zaman. Zaman keraton (feodal), keraton dalam bayang-bayang VOC plus Kolonialisme (neo feodal), runtuhnya sistem keraton (akhir abad 19), dan era kedaulatan RI (1945).
Zaman keraton jilid pertama ditandai dengan duduknya Aria Wiraraja sebagai adipati Madura yang berkedudukan di Sumenep (31 Oktober 1269 Masehi).
Kala itu Sumenep berada di bawah bayang-bayang Jawa (Singhasari). Hingga kemudian, Singhasari runtuh dan era baru (Majapahit) datang (1393).
Dalam kemunculan era baru itu Sumenep tercatat sebagai konseptor sekaligus bidannya. Berkat kepiawaian Wiraraja (Banyak Wide), Dyah Wijaya (menantu Raja singhasari terakhir, sekaligus keturunan laki-laki dari Ken Angrok), berhasil merebut kembali mahkota Wangsa Rajasa.
Sumenep lantas menjadi wilayah khusus, sebagai bentuk rasa terima kasih Wijaya. Wiraraja diberi separuh wilayah Majapahit. Didudukkan di Lumajang. Sementara Sumenep diberikan pada Aria Bangah (adik Wiraraja).
Dalam perkembangan selanjutnya, Sumenep tetap dipengaruhi Jawa. Dan tetap menjadi bagian (baca: bawahan) Jawa. Baik di era Majapahit maupun Demak (1478). Sempat melawan hegemoni Jawa, di dekade kedua paruh pertama abad 17, Sumenep dan seluruh Madura jatuh dalam genggaman Mataram (invasi 1620-an).
Di masa feodal, "Raja" adalah undang-undang. Sabdanya adalah perintah sekaligus larangan. Jarak antara penguasa dan jelata, bak bumi dan langit. Komunikasi Raja dan rakyatnya diatur dalam bentuk krama inggil, di Sumenep dikenal dengan ondagan dan ondagga bhasa (tangga bahasa).
Kedatangan bangsa asing ke nusantara, membuka pintu perubahan zaman. Perlawanan pangeran Madura bernama Trunojoyo di pertengahan abad 17, menarik simpati besar rakyat kecil.
Komunikasi antara bangsawan dan rakyat kebanyakan sedikit ringan. Pasalnya, dalam perjuangan melawan penjajah yang dikonotasikan bangsa kafir, penguasa dan rakyat mesti bersatu padu. Meski di satu sisi, wibawa kalangan keraton masih terjaga baik. Kromo inggil tetap dijunjung tinggi kalangan bawah.
Kendati begitu, perkembangan situasi sedikit menyulitkan penguasa di Sumenep dan Madura pada umumnya. Penguasa Jawa (Mataram) yang terjebak dalam perjanjian-perjanjian politik dengan Belanda, akibat perlawanan Trunojoyo, sedikit demi sedikit kehilangan wibawanya.
Penjajah dengan serikat dagangnya (VOC) terus mencengkeram dan sekaligus menancapkan kukunya. Pulau garam turut menanggung efek. VOC ikut campur dalam tatanan pemerintahan.
Struktur pemerintahan juga sedikit demi sedikit mengalami perubahan. Hingga puncaknya di era penghapusan sistem keraton (1880-an). Penguasa lokal ibarat pegawai yang digaji.
Struktur pemerintahan dirombak. Sedikit demi sedikit. Hingga masuk pada era kedaulatan RI. ( Farhan/Fer )