Peringatan PRB, BNPB Tekankan Rehabilitasi dan Rekontruksi Pascabencana

: Sharing session pada Puncak Acara Bulan PRB dilakukan mulai 8 hingga 9 Oktober 2024 di Aceh/ dok. BNPB.


Oleh Jhon Rico, Rabu, 9 Oktober 2024 | 20:04 WIB - Redaktur: Untung S - 209


Jakarta, InfoPublik - Tidak hanya dari sisi logistik dan peralatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun menekankan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana untuk berorientasi pada mitigasi dan pencegahan.

"Sejak masa tanggap darurat, operasi rehabilitasi dan rekonstruksi sudah harus berjalan, perencanaan cepat dan tepat membantu mengurangi masa penderitaan masyarakat terdampak, kita pastikan proses pemulihannya memenuhi prinsip build back better, safer dan sustainable," ujar Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Jarwansyah pada Sharing Session dalam acara peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana (Bulan PRB) melalui keterangan yang diterima InfoPublik, Rabu (9/10/2024).

"Perencanaan dan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi yang efektif akan menjadi senjata kuat dalam upaya mitigasi dan pencegahan pada masa pra-bencana, kita harus ingat siklus bencana yang tidak pernah berhenti, semua tahap saling berkaitan satu dengan lainnya," tambah Jarwansyah.

Menurut dia, refleksi upaya PRB ini juga dinilai secara kuantitatif, khususnya terkait lembaga penanggulangan bencana daerah yaitu BPBD melalui Sistem Penilaian BPBD (SIP-BPBD) oleh Yayasan Pengurangan Risiko Bencana (YPRB) yang disampaikan pada Sharing Session Diseminasi Hasil Penilaian Kapasitas Lembaga Penanggulangan Bencana Daerah.

Berdasarkan hasil penilaian SIP-BPBD kepada 104 BPBD di seluruh Indonesia, terdapat 15 BPBD atau 14 persen yang masuk pada kategori level 1. Di mana masih memiliki keterbatasan dari sisi administrasi sehingga membutuhkan pendampingan dan penguatan dari berbagai unsur terkait.

Kemudian terdapat 84 BPBD atau 81 persen BPBD yang berada pada level 2 yaitu level transisi di mana fokus pengembangan BPBD diarahkan kepada aspek identitas lembaga, organisasi dan budaya kerja, perencanaan dan penganggaran, serta kolaborasi dan kerja sama.

Sedangkan pada level 3 hanya 5 BPBD atau 5 persen yaitu BPBD yang telah memiliki dasar kelembagaan yang kuat secara regulasi, kompetensi, sarana prasarana, maupun penganggaran dan kemitraan, sehingga organisasi BPBD telah dianggap mandiri dalam menjalankan peran penanggulangan bencana di daerah.

Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB Agus Wibowo mengapresiasi hasil penilaian kuantitatif ini yang mampu memperlihatkan gambaran terukur sebagai dasar dukungan pemerintah pusat untuk penguatan BPBD.

Dirinya menyatakan penguatan kelembagaan BPBD menjadi upaya pengurangan risiko bencana di daerah, karena memiliki sistem kelembagaan dengan kapasitas sumber daya manusia, anggaran maupun peralatan yang memenuhi syarat dalam menghadapi potensi bencana.

Hasil penilaian ini menunjukan 10 peringkat teratas kelembagaan BPBD, mulai dari peringkat 10 yaitu Kota Padang (level 2), Kabupaten Langkat (level 2), Kota Sibolga (level 2), Kabupaten Semarang (level 2), Kabupaten Bener Meriah (level 2), Kabupaten Serang (level 3), Kota Magelang (level 3), Kabupaten Purworejo (level 3), Kabupaten Banyumas (level 3) hingga peringkat pertama yakni Kabupaten Buleleng (level 3).

Refleksi upaya pengurangan risiko bencana juga mengacu pada kejadian bencana yang terjadi di masa lalu, yakni pada penanganan darurat di Cianjur dan Demak.

Pada agenda sharing session Kebijakan Penguatan Sistem Penyelenggaraan Kedaruratan Bencana : Pembelajaran Penanganan Darurat Cianjur dan Demak, Agus Wibowo menekankan pentingnya legalisasi dan struktur lembaga yang lengkap, perencanaan anggaran, dan koordinasi antar-dinas dan lembaga daerah.

Termasuk pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan memastikan pengarsipan lembaga dengan baik sebagai dasar evaluasi dan rekomendasi strategis untuk misi penanggulangan bencana.

Sementara itu, Kepala Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB Bambang Surya Putra menyatakan penguatan fungsi Pusdalops di daerah juga perlu dilakukan agar alur pelaporan kejadian bencana dapat berjalan dengan baik.

Termasuk menjadi pelatihan manajemen di level Kepala Daerah, sehingga Kepala BPBD memiliki kapasitas pengambilan keputusan dan kepemimpinan operasi tanggap darurat yang baik.

Pada kesempatan tersebut, Kepala Subdirektorat Dukungan Pengerahan Sumber Daya Manusia pada Kedeputian Bidang Penanganan Darurat BNPB Yustam Syahril menjelaskan alur dasar penetapan status tanggap darurat, regulasi maupun kebijakan untuk pemerintah daerah memaksimalkan upaya penanggulangan bencana melalui dukungan dari pemerintah pusat.

Selain pada ruang lingkup bencana alam, BNPB membahas penanggulangan bencana pada situasi konflik sosial pada agenda Sharing Session Membangun Nexus Humanitarian Development Peace (HDP) : Peran Sektoral dalam Penanggulangan bencana pada Situasi Konflik Sosial.

Hal ini didasari pada beberapa krisis yang pernah dialami Indonesia dan didorong oleh ancaman bencana alam dan konflik sosial yang perlu direspon secara komprehensif yakni kejadian tsunami Aceh pada tahun 2004 di wilayah konflik antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Kemudian, gempabumi Padang 2009 di mana terjadi konflik pascabencana antara pemerintah dan masyarakat. Hal i ini diakibatkan pendistribusian bantuan yang tidak merata.

Selanjutnya, penjarahan pada masa tanggap darurat gempabumi di Palu, serta beragam kejadian maupun isu sosial yang terjadi saat gempabumi Cianjur.

Kompleksitas atas potensi risiko konflik sosial yang dapat muncul ketika bencana alam terjadi harus diantisipasi untuk melindungi masyarakat, khususnya kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak serta orang lanjut usia.

Agenda ini menghadirkan perwakilan dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN OCHA), UN Women, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Hasil dari pembahasan ini melahirkan pemahaman para pelaku penanggulangan bencana bagaimana pendekatan yang komprehensif serta merumuskan arah kebijakan dan memadukan secara integratif terkait regulasi untuk mencegah terjadinya konflik sosial, terorisme hingga radikalisme.

Sharing session pada Puncak Acara Bulan PRB dilakukan mulai 8 hingga 9 Oktober 2024 yang tersebar di berbagai tempat, yaitu di Hotel Kryria, Hotel Ayani, Hermes Boutique Hotel, Aula Perpustakaan Wilayah Provinsi Aceh, Universitas Muhammadiyah Aceh dan Stikes Muhammmadiyah Aceh.

Segenap komponen pentaheliks mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, dunia usaha, media massa dan akademisi bergabung untuk berdiskusi terkait refleksi upaya PRB.

Hal ini dilakukan guna memastikan langkah penguatan PRB ke depan untuk membangun ketangguhan berkelanjutan serta budaya sadar bencana di seluruh wilayah Indonesia.

 

Berita Terkait Lainnya

  • Oleh Jhon Rico
  • Sabtu, 12 Oktober 2024 | 06:23 WIB
Delapan Kecamatan Terdampak Banjir di Kabupaten Aceh Tenggara
  • Oleh Jhon Rico
  • Jumat, 11 Oktober 2024 | 11:02 WIB
Kearifan Lokal Modal Masyarakat Merespons Potensi Ancaman Bahaya Alam