:
Oleh Admin, Rabu, 27 September 2017 | 10:23 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 412
Jakarta, InfoPublik - Gubernur Bali dapat menggunakan Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam membantu penanganan pengungsi erupsi Gunung Agung sesuai ketentuan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menjelaskan Peraturan Pemerintah dimaksud adalah ketentuan tentang Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa penggunaan BTT untuk mendanai kebutuhan Pemda yang sifatnya tidak biasa dan diharapkan tidak berulang seperti penanggulangan bencana dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya.
"Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka Pemprov Bali dapat menggunakan BTT dari APBD untuk mendanai kebutuhan pengungsi akibat bencana alam, dengan cara melakukan pergeseran anggaran menjadi kegiatan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait," kata Mendagri kepada wartawan, Rabu (27/9).
Terkait penggunaan BTT, Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemdagri sudah menjelaskan kepada pejabat yang membidangi di Pemprov Bali. "Intinya BTT dapat digunakan untuk penanganan pengungsi," tegasnya.
Pantauan di lapangan, jumlah pengungsi Gunung Agung terus bertambah. Data pengungsi yang tercatat di Pusdalops BPBD Bali, Selasa (26/9) pukul 12.00 WITA, telah mencapai 75.673 jiwa.
Pengungsi tersebar 377 titik pengungsian di sembilan kabupaten/kota di Bali. "Diperkirakan data jumlah pengungsi masih bertambah karena pendataan masih terus dilakukan," ungkap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Berdasarkan sebaran pengungsi di kabupaten/kota adalah di Kabupaten Badung 9 titik (756 jiwa), Kabupaten Bangli 29 titik (4.890 jiwa), Kabupaten Buleleng 24 titik (8.518 jiwa), Kota Denpasar 27 titik (2.539 jiwa), Kabupaten Gianyar 12 titik (540 jiwa), Jembrana 4 titik (82 jiwa), Kabupaten Karangasem 93 titik (37.812 jiwa), Kabupaten Klungkung 162 titik (19.456 jiwa), dan Kabupaten Tabanan 17 titik (1.080 jiwa).
Jumlah pengungsi ini lebih besar daripada penduduk yang tinggal di dalam radius berbahaya yang direkomendasikan PVMBG untuk dikosongkan yaitu radius 9 kilometer dari puncak kawah Gunung Agung ditambah 12 kilometer di sektor utara-timur laut dan 12 kilometer di sektor tenggara-selatan-barat daya.
Adapun batas radius berbahaya itu mudah terlihat di peta. Di lapangan tidak nampak, masyarakat tidak tahu mereka tinggal di dalam radius berapa. Inilah yang menyebabkan masyarakat yang tinggal di luar garis radius berbahaya pun ikut mengungsi. Apalagi saat dinaikkan status Awas (Level IV), ribuan masyarakat mengungsi pada malam hari yang menyebabkan masyarakat di desa-desa yang terdapat di luar radius berbahaya pun ikut mengungsi.
Hal ini wajar saat bencana. Saat letusan Gunung Merapi tahun 2010, pengungsi mencapai lebih dari 500.000 jiwa saat radius berbahaya dinaikkan radius berbahaya dari 15 kilometer menjadi 20 kilometer. Padahal di peta, jumlah penduduk di dalam radius 20 kilometer hanya sekitar 200.000 jiwa. Begitu juga saat letusan Gunung Sinabung, jumlah penduduk yang ada di dalam radius berbahaya dan harus mengungsi hanya sekitar 7.000 jiwa saat dinaikkan status Awas pada 24/12/2014. Namun yang mengungsi mencapai 11.618 jiwa pada 26/11/2014, bahkan mencapai 30.117 jiwa pada 23/1/2015.
Ada faktor psikologis dan sosial yang melatarbelakangi masyarakat ikut mengungsi. Saat seseorang mendengar ada ancaman atau bahaya dan melihat langsung masyarakat pada mengungsi, maka secara naluriah orang tersebut akan ikut mengungsi. Apalagi jika gunungnya sudah meletus dan terlihat awan panas, hujan abu pekat, suara dentuman dan lainnya, maka masyarakat akan mengungsi ke tempat aman.
Menurutnya, biasanya sulit sekali mengajak masyarakat untuk mengungsi dari gunungapi. Bahkan saat gunung sudah Meletus, banyak masyarakat yang tetap tidak bersedia mengungsi. Sekarang masyarakat di sekitar Gunung Agung mengungsi secara mandiri. Justru ini adalah salah satu ciri masyarakat yang tangguh menghadapi bencana yaitu memiliki daya antisipasi.