Anak Muda Tolak Jadi Target Industri Rokok

:


Oleh H. A. Azwar, Sabtu, 2 April 2016 | 03:19 WIB - Redaktur: R. Mustakim - 800


Jakarta, InfoPublik - Keterlibatan anak muda dalam kampanye Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, menunjukkan kian menguatnya kesadaran untuk menolak menjadi target industri rokok.

Demikian kesimpulan dari diskusi media bertema “Keterlibatan Anak Muda dalam Kampanye FCTC, Tren Menguatnya Dukungan Publik terhadap Isu Pengendalian Tembakau” yang diadakan di Resto Sere Manis, Jakarta Pusat, Jumat, 1 April 2016.

Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak Indonesia (LAI), menegaskan anak muda sekarang semakin sadar akan taktik industri rokok dalam menyasar generasi muda sebagai perokok pengganti.

Berdasarkan pengalaman LAI dalam mendampingi anak muda dan komunitas anak muda berusia 14 hingga 21 tahun, para remaja ini mengetahui industri rokok dengan sengaja membidik pasar anak muda, karena maraknya iklan rokok yang menampilkan gaya hidup remaja.

Yang menarik adalah, rata-rata anak muda yang kami dampingi mengkritisi iklan rokok yang mereka anggap memberikan informasi yang salah tentang rokok.

Misalnya model iklan rokok yang digambarkan sebagai seseorang yang keren, pandai bergaul, dan percaya diri sudah berhasil membentuk pemahaman di benak remaja bahwa merokok itu sesuatu positif. Padahal sejatinya rokok mengandung 7000 zat kimia berbahaya dan bersifat adiktif, tegas Lisda.

Menurut Margianta Surahman Juhanda Dinata, Juru Bicara Gerakan Muda FCTC, kian  banyaknya anak muda yang kritis dan menolak menjadi target industri rokok, didorong kerisauan terhadap mudahnya akses anak terhadap rokok. Harga rokok yang sangat murah, kemudahan membeli rokok di minimarket dan toko, bahkan di warung dekat sekolah, menjadikan mereka bagai dikepung oleh rokok.

Bayangkan mudahnya anak-anak membeli sebatang rokok hanya dengan uang dua ribu rupiah. Dan tidak ada warung yang menolak menjual rokok kepada anak-anak. Mereka bagai tidak peduli masa depan anak-anak yang sudah mengonsumsi rokok sejak kecil, ujar Margianta.

Senada dengan Margianta, Imam Rahma Sanjaya dari Forum Anak Pandeglang, juga menyesalkan masih maraknya konser musik yang disponsori oleh industri rokok. Yang mengkhawatirkan kata Iman, iklan konser musik itu dibuat dalam bentuk baliho yang besar dengan menampilkan merek rokok sebagai sponsor acara konser dengan sangat “eye catching”.

Selain itu, petugas Sales Promotion Girl (SPG) juga masih aktif membagikan brosur acara konser ke sekolah-sekolah yang berlokasi dengan tempat penyelenggaraan konser.

Padahal sekolah adalah salah satu kawasan tanpa rokok (KTR) yang seharusnya steril dari segala bentuk iklan dan promosi rokok, kata Imam.

Sementara Widyastuti Soerojo dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), menyatakan sangat mengapreasi keterlibatan anak muda dalam kampanye FCTC.

Kita semua tahu bahwa remaja itu adalah target. Industri rokok akan dekat sekali dengan remaja. Tapi bayangkan ketika semua remaja menolak menjadi target, ini akan menjadi kekuatan yang sangat besar. Karena ketika remaja memboikot untuk tidak mau membeli rokok, mungkinkah industri rokok akan hidup? Industri rokok sangat mengandalkan remaja. Jadi industri ada di tangan remaja, kata Widyastuti.

Pada dialog media tersebut juga dijelaskan tentang peluncuran Kapsul Waktu. Menurut Margianta, Kapsul Waktu adalah simbol komitmen 20 anak muda dari 17 kota di Indonesia untuk membuat aksi di komunitasnya dalam mendukung pemerintah Indonesia mengaksesi FCTC. Ke-20 anak muda tersebut sebelumnya telah mengikuti training Pembaharu Muda pada Februari lalu, dan mendapat pembelajaran tentang permasalahan rokok di Indonesia, kepemimpinan, membuat rencana aksi advokasi, menggerakkan komunitas, dan membangun relasi dengan media.

Gerakan Muda FCTC adalah gerakan sosial yang digagas 60 anak muda dari Jabodetabek, Padang, Mataram, Manokwari, Bangka Belitung, Jogjakarta dan Banten, bertujuan untuk menggalang dukungan masyarakat seluas-luasnya agar Indonesia mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau untuk melindungi anak dari dampak rokok, melalui aktivitas berbasis media sosial.