Tanpa Prasasti, Potret Pusara Kiai Cirebon, Guru Sang Maestro

:


Oleh MC KAB SUMENEP, Jumat, 18 Desember 2020 | 15:37 WIB - Redaktur: Eka Yonavilbia - 384


Sumenep, InfoPublik  - Raden Bugan alias Pangeran Macan Ulung, alias Tumenggung Yudanegara, merupakan salah satu maestro dalam dinamika peradaban Sumenep. Ketika Sumenep sejak dekade kedua abad 17 berada dalam bayang-bayang Jawa, Yudanegara bisa dikatakan sebagai satu-satunya penguasa yang berani melepaskan diri atas hegemoni Mataram.

Ia juga merupakan salah satu sosok yang hingga sepeninggalnya (berdasar catatan Sumenep 1672 Masehi), terus dikenang namanya. Dikenal sebagai penguasa yang arif dan berbudi pekerti luhur. Ketinggian pekertinya tercermin dalam ungkapan “ta’ kennal Judhanagara” (tidak mengenal Yudanegara), bagi mereka yang tidak berakhlak baik.

“Yudanegara merupakan peletak dasar ‘ondagga bhasa’ atau tangga bahasa di Madura Timur. Salah satu bagian dari tatakrama atau adat sopan santun, yang dibedakan sesuai strata usia, keilmuan, dan status sosial, meliputi antara yang muda pada yang tua, murid pada gurunya, dan antara rakyat dengan penguasanya,” kata RB Muhlis, salah satu Pemerhati Sejarah di Sumenep.

Nah, di balik nama Yudanegara, seperti yang diulas dalam tulisan sebelumnya, ada sosok Kiai Cirebon. Sosok penting dalam mengasuh, membesarkan, mendidik dan membentuk karakter seorang Yudanegara. Seperti dalam kisah babad dan sejarah Sumenep, Yudanegara memang ditinggal wafat ayahnya, pasca huru-hara dalam peristiwa invasi Mataram atas Madura pada sekitar 1624 Masehi.

Yudanegara yang berhasil diselamatkan pengikut ayahnya, dibawa ke Cirebon. Peristiwa ini masih belum bisa dipastikan alasannya. Karena bisa jadi hal itu atas sepengetahuan Mataram atau sebaliknya.

“Yang jelas, Yudanegara setelah agak dewasa juga pernah disebut menghadap ke Mataram, dan pernah ditugaskan dalam menaklukkan Blambangan di suatu masa,” ujar Ja’far Shadiq, dari Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser).

Kembali pada Kiai Cirebon, entah kenapa, tokoh ini ikut menyertai sang murid kembali ke tanah asalnya Sumenep. Kiai Cirebon bahkan menetap di Madura Timur hingga akhir hayatnya.

Lebih lanjut, info soal Kiai Cirebon di Sumenep juga sangat minim. Salah satu info yang bisa didapat Media Center, hanya riwayat dari kalangan keluarga Rumah Panggung Ronggodiboso, Kepanjin.

Ronggodiboso adalah tokoh berpengaruh di masa Yudanegara. Dalam catatan Rumah Panggung tokoh ini merupakan patih Sumenep. Dalam riwayat lain beliau adalah seorang ronggo, yakni sebutan sebagai kuasa di suatu wilayah. Nama lain Ronggodiboso dalam catatan silsilah keluarga Keraton Sumenep ialah Raden Entol Anom atau Raden Onggodiwongso.

“Patih Ronggodiboso adalah putra Raden Sutojoyo, sekaligus cucu Pangeran Macan Alas, Waru Pamekasan. Keluarga Rumah Panggung masih kerabat dekat Yudanegara. Sama-sama masih keturunan Adipati Sampang dan Pamekasan,” kata Iik Guno Sasmito, dari keluarga Rumah Panggung.

Nah, diperkirakan saat Kiai Cirebon ke Sumenep, kuasa di sana adalah seorang ronggo, yakni Raden Entol Anom di atas.

“Rumah Kiai Cirebon di sebelah timur rumah panggung. Begitu juga makam Kiai Cirebon,” lanjut Iik, Kamis (17/12/2020).

Makam Kiai berada di Jalan Letnan Ramli. Untuk mencapai lokasinya, Media Center mesti masuk sebuah gang sempit ke arah timur sekira 50 meter. Kondisi makam saat media ini ke sana, tidak begitu terawat. Makamnya hanya dipagari dinding berbentuk persegi empat dengan luas sekitar 2x3 meter.

Dalam kolase foto tulisan ini di atas, tampak makam Kiai Cirebon di posisi paling kanan atas. Bandingkan dengan foto makam muridnya, Tumenggung Yudanegara, di kawasan Desa Kebunagung.

Nisan makam Kiai Cirebon belum dipastikan usianya, meski kuna. Namun diperkirakan mengalami pemugaran jauh setelah wafat sang guru besar. Sementara kijingnya sudah mengalami perubahan pula, baru sama sekali. Makam beliau sudah diapit bangunan rumah-rumah warga. Di sana makam ini menepi, tanpa prasasti. ( Han/Fer/Eyv)