Bijak Memberi Gawai untuk Anak 

:


Oleh Taofiq Rauf, Sabtu, 18 Februari 2023 | 10:47 WIB - Redaktur: Taofiq Rauf - 9K


Jakarta, InfoPublik - Bocah kecil itu terlihat aktif berlari di lorong rumah sakit Hermina Daan Mogot, Jakarta Barat. Sesekali ia berteriak seperti ingin mengutarakan sesuatu. 

Kedua orang tuanya yang sedang duduk sesekali mengingatkan untuk tenang karena khawatir mengganggu pasien lain.  Anak itu lalu duduk. Ia bersama sang kakak yang usianya tak jauh berbeda terlihat anteng melihat layar telepon genggam.  

"Kami lagi menunggu dokter untuk jadwal terapi," ujar sang ibu saat berbicara dengan orang tua pasien lain.  

Anak lelaki itu sudah berusia empat tahun. Namun hingga kini belum  berbicara dengan baik. Kedua orang tuanya sudah memeriksakan ke dokter di layanan faskes pertama dan diarahkan untuk terapi di rumah sakit.  "Dulu waktu anak pertama bisa fokus, saat ini, banyak sekali distraksinya," kata ibu yang tak jarang pasrah memberi anaknya telepon genggam. 

Di Perumahan Puri Permata, Kota Tangerang, Wahyu,  memberhentikan asisten rumah tangganya setelah diketahui sang pembantu lebih sering memberikan anaknya gadget agar tenang.  "Ya kami ketahui itu, setelah anak kami yang sudah tiga tahun lebih banyak diam. Setelah diperiksa ke dokter dan dicari tahu akar masalahnya ternyata dari telepon genggam," tuturnya.  

Kondisi serupa dialami oleh Qeenan, anak pasangan suami istri Dwi-Yanti. Menurut warga Pondok Labu, Jakarta Selatan itu, mereka baru menyadarinya setelah si bungsu menginjak usia tiga tahun namun belum juga bisa bicara. "Sampai usia tiga tahun, Qeenan belum bisa mengucapkan satu kalimat pun. Kalau ingin sesuatu misalnya minum, dia hanya bisa menunjuk ke arah gelas," kata Andrey kepada GPR News. 

Ia mengakui, sikap permisif meminjamkan gawai kepada si kecil ikut menjadi salah satu faktor penyebab speech delay itu terjadi. Ini baru diketahuinya setelah berkonsultasi dengan psikolog anak. 

Kemajuan teknologi internet memang telah membantu memudahkan kehidupan manusia. Lewat sentuhan jari di gawai seperti telepon seluler pintar dan tablet, internet akan membawa penggunanya menyusuri seluruh keinginan atau kebutuhan. 

Namun, pemakaian gawai di usia belia secara berlebihan bisa mempengaruhi perkembangan mental dan tumbuh kembang si anak. Penyakit itu disebut sebagai Perilaku Kecanduan Gawai atau Screen Dependency Disorder (SDD). 

Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Aric Sigman, guru besar psikologi kesehatan mental anak dari Royal Society of Biology, Inggris. Itu dapat dilihat dari penelitiannya pada 2009 yang berjudul “Impact of Video Game Play on The Brain’s Microstructural Properties: Cross-sectional and Longitudinal Analyses” bersama Hikari Takeuchi profesor psikologi dari Tohoku University, Jepang.

Sigman menjelaskan bermain dengan gawai oleh usia belia lebih dari satu jam dalam sehari dapat menyebabkan kerusakan pada neuro adaptation (adaptasi saraf) dan neural structural changes (perubahan struktur di daerah saraf) yang terkait dengan kecanduan.  Salah satu efeknya adalah anak-anak usia di bawah empat tahun yang telah kecanduan gawai akan mengalami terlambat bicara (speech delay). Hal itu sesuai dengan penelitian Catherine Birken pada 2017 seperti dikutip dari Pediatric Academic Societies Meeting

Birken menemukan 20 persen anak usia 18 bulan menghabiskan waktu rata-rata 30 menit memakai gawai dan meningkatkan risiko speech delay sebanyak 49 persen. 

Namun, menurut psikolog anak Nouf Zahra Anastasia, gawai bukanlah satu-satunya penyebab timbulnya keterlambatan bicara pada anak. Menurut lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia tersebut ketika ditemui di kediamannya di Depok, keterlambatan bicara pada anak turut disumbang oleh beberapa faktor.

Misalnya gangguan pada pendengaran, gangguan struktur di mulut, minimnya interaksi dengan sekitar, atau sedikitnya stimulus yang diberikan sejak dini kepada anak.  Meski demikian, Head of Special Education Department Sekolah Cita Buana ini sepakat bahwa pemakaian gawai secara berlebihan pada anak memberi banyak pengaruh negatif.

Radiasi pada layar gawai akan mengganggu proses tumbuh kembang otak si anak. Kemudian, anak menjadi kurang tidur dan menurunkan kemampuan mereka untuk fokus, muncul insomnia, timbul kecemasan berlebihan, dan lebih agresif. "Kesehatan mental dan perkembangan otak anak dirusak oleh pemakaian gawai secara berlebihan. Anak cenderung menjadi pribadi tertutup, malas bergerak, dan mengurung diri di kamar. Ini harus diwaspadai oleh setiap orang tua," tuturnya.  

Peran orang tua

Menilik data Survei Internet Indonesia tahun 2021 dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia atau APJII terungkap bahwa saat ini 77,02 persen dari total 275,3 juta jiwa penduduk Indonesia adalah pemakai internet. Artinya, ada sekitar 210.026.769 orang merupakan pengguna internet.

Sebanyak 89,03 persen di antaranya menjadikan gawai sebagai sarana berselancar di dunia maya. Tak hanya orang dewasa, anak-anak usia di bawah 12 tahun pun sudah semakin banyak memanfaatkan gawai untuk membuka internet atau memainkan aneka gim.

Situasi pandemi COVID-19 terutama saat fase awal di semester pertama 2020 turut berpengaruh kepada peningkatan pengguna gawai usia belia. Apalagi ketika semua fasilitas pendidikan ditutup sementara dan sebagai gantinya diadakan belajar daring. 

Hampir 90 persen dari total 24,33 juta pelajar mulai tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas atau sederajat belajar memakai gawai. Sayangnya, dari hasil pantauan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 76,8 persen di antaranya justru memakai gawai tidak hanya ketika belajar, melainkan saat di luar jam belajar.  Padahal, banyak efek samping dari pemakaian gawai oleh anak-anak usia belia secara berlebihan. "Kami khawatir mereka terpapar oleh informasi yang salah, konten-konten negatif atau berbau pornografi karena pengaruh gim yang dimainkan atau adanya ancaman menjadi korban pelaku kejahatan siber," ucap Komisioner KPAI, Margaret Maimunah seperti dikutip Antara, beberapa waktu lalu.

Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran UI Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Kristiana Kusuma Santi menambahkan, adiksi gawai lebih dari tiga jam sehari pada anak bakal mengganggu fungsi diri seperti fungsi relasi, pendidikan, dan kegiatan rutin lainnya. Bahkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikannya sebagai gangguan kesehatan jiwa karena gadget disorder. 

Jika tidak segera dicegah, anak rentan mengalami perubahan di otak, khususnya bagian dorsolateral prefrontal cortex yang mengatur emosi seseorang seperti mengontrol dan merencanakan perilaku. "Kalau sudah terganggu, mereka cenderung impulsif," ucap Kristiana.

Karenanya, pengajar senior Fakultas Psikologi UI, Adriana Soekandar Ginanjar menyarankan setiap orang tua agar membatasi pemakaian gawai kepada anak-anaknya, disesuaikan dengan usia si buah hati. "Dampingi mereka ketika memakai gawai dan tanyakan juga aplikasi apa yang sedang dibuka oleh anak-anak. Kenalkan juga pada aplikasi-aplikasi edukatif dan bisa menjadi sarana menambah pengetahuan anak-anak," urai Adriana.

Guru besar psikologi perkembangan ini meminta orang tua turut meluangkan waktu berkegiatan bersama seperti bersepeda, lari pagi di akhir pekan, berkebun, atau pergi ke bioskop, toko buku, dan berwisata. Adriana dan Anastasia sepakat bahwa keluarga adalah akar dari setiap anak untuk mendapatkan jiwa yang kuat dan sehat. 

Oleh sebab itu para orang tua perlu mengedukasi dirinya dan menularkan itu kepada buah hati mereka sehingga sedari kecil anak-anak sudah memahami bagaimana mereka merawat diri dan mencintai diri sendiri. (MS/GPRNEWS)

[(Foto: Program Literasi Digital Video di SMK Telkom, Malang, Jawa Timur, Jumat (3/2/2023)]

 

Baca dan download GPRNews Edisi I 2023 selengkapnya di: https://www.gprnews.id/books/vdpn/