:
Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Jumat, 29 April 2022 | 03:32 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K
Jakarta, InfoPublik - Sudah lima kali hari itu Johani menyapu lantai rumah. Namun lantai tetap tak bersih. Habis disapu, lantai kembali kotor. Begitu seterusnya. Akhirnya, ia membiarkan debu-debu itu mengotori lantai rumah.
"Udah hampir lima kali nyapu rumah, kotor sama abu vulkanik," kata warga Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten, Minggu (24/04/2022).
Debu yang mengotori lantai rumah Johani itu berasal dari Gunung Anak Krakatau. Sudah beberapa pekan ini, gunung yang berada di perairan Selat Sunda ini mengalami erupsi. Pada Minggu lalu, ketinggian erupsi mencapai 3.000 meter.
Ketinggian erupsi itu membuat Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada Ahad itu menaikkan status dari level II (waspada ) ke level III (siaga). Dengan kenaikan status itu, Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati meminta masyarakat sekitar untuk mewaspadai potensi gelombang tinggi atau tsunami.
Masyarakat pun diminta untuk menyesuaikan peningkatan status ini dengan tidak beraktivitas dalam radius 5 kilometer (km) dari kawah aktif gunung yang memiliki ketinggian 813 meter itu.
Sejarah Gunung Anak Krakatau
Volkanolog ITB, Mirzam Abdurrachman, menyebut Anak Krakatau adalah sisa sejarah panjang letusan Krakatau Purba yang disebut para ahli geologi sebagai Gunung Batuwara. Letusan Gunung Batuwara yang terjadi pada abad ke-5 Masehi itu sangat dahsyat. Letusannya mengakibatkan tsunami besar. Sebagian tanah ambles, membentuk Selat Sunda, serta membelah sebagian Pulau Jawa yang melahirkan Pulau Sumatera.
Jejak Krakatau Purba ini disebutkan dalam teks Jawa Kuno berjudul "Pustaka Raja Parwa" yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Dalam buku ini disebut, tinggi Krakatau Purba mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
Dahsyatnya letusan Krakatau Purba itu juga digambarkan buku itu. "Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatera."
Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari. Diperkirakan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan itu membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
Buku Krakatau: Laboratorium Alam di Selat Sunda (2007) terbitan Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Universitas Indonesia, menyebut letusan ini mengakibatkan Gunung Krakatau Purba hancur dengan menyisakan kaldera (kawah besar) di bawah laut. Kawah besar ini kemudian membentuk tiga pulau, yakni Pulau Rakata, Pulau Panjang (Pulau Rakata Kecil), dan Pulau Sertung.
Dorongan vulkanik hebat dari dalam perut bumi itu menyebabkan sebuah gunung anakan yang terbuat dari batuan basaltic di Pulau Rakata. Dalam proses ini, lahirlah dua gunung lain dari kawah di area yang sama, yakni Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan. Dua gunung yang tumbuh bersamaan itu lambat laun menyatu menjadi Gunung Krakatau.
Terbentuk dan tertidur selama ratusan tahun lalu pada 26-27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus dahsyat. Ada empat kali ledakan besar kala itu. Letusan itu menyebabkan empat kali gelombang tsunami di Selat Sunda. Letusan itu menghancurkan sekitar 60 persen dari tubuh Gunung Krakatau.
Suara letusannya terdengar sampai 4.600 kilometer dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu. Letusannya kala itu disebut sebagai bencana alam yang mempunyai kedahsyatan sama dengan kisah masyarakat Pompeii dan Heculaneum yang terkubur oleh letusan Gunung Vesuvius.
Letusan dan stunami itu menyebutkan lebih dari 36 ribu orang tewas akibat erupsi Gunung Krakatau ini. Referensi lain bahkan mengklaim jumlah korban jiwa jauh lebih besar, hingga 120 ribu orang.
Bethany D. Rinard Hingga, penulus buku Ring of Fire mengungkap kesaksian Johana Beijerinck, istri kontrolir perkebunan Willem Beijerinck di Ketimbang, pesisir pantai Lampung Selatan. Dalam kesaksiannya Johanna Beijerinck menulis, "Aku mendengar suara berisik batu apung yang menimpa atap rumah. Di atasnya terdengar suara geledek dari gunung, serupa auman mengerikan, yang kecepatannya hampir menyamai kecepatan cahaya."
Letusan Gunung Krakatau itu membuat sebagian besar gunung berapi bersama Pulau Rakata runtuh ke dalam laut. Pada saat itu, Krakatau mengeluarkan jutaan ton batu, debu, dan magma. Material tersebut menutupi wilayah seluas 827.000 km2.
Gunung Anak Krakatau muncul sekitar 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau yang terjadi pada Agustus 1883 itu. Ia muncul dari area kawah besar yang masih aktif itu.
Menurut catatan PVMBG, sejak awal munculnya hingga tahun 2000 atau dalam jangka waktu 73 tahun, Gunung Anak Krakatau meletus sebanyak lebih dari 11 kali, tetapi belum sampai pada taraf yang mengkhawatirkan.
Namun pada 2018, aktivitas Gunung Anak Krakatau mengalami peningkatan, hingga terjadilah tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018. Letusan itu menelan korban ratusan jiwa. Gelombang air bah menerpa lantaran dipicu oleh runtuhan sebagian tubuh gunung yang longsor di dalam laut.
Kini, empat tahun setelah letusan itu, Gunung Anak Krakatau kembali menunjukkan tanda-tanda berulah lagi.(*)
(Ilustrasi erupsi sebuah gunung. Foto: pexel.com)