Jejak Adaptasi Alam Orang Minang terhadap Potensi Gempa

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Rabu, 2 Maret 2022 | 09:33 WIB - Redaktur: Untung S - 522


Jakarta, InfoPublik -  Feri (62) tengah duduk santai di sekitar rumahnya di Jorong Pinaga, Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat (Sumbar). Tak lama berselang, tanah dan rumah yang ada di wilayah itu bergetar. Bumi berguncang keras.

Feri berlari memanggil keluarganya yang masih di dalam rumah. "Capeklah lari capeklah, rumahlah runtuah (cepat lari, rumah kita sudah runtuh)," kata perempuan lanjut usia itu di tenda pengungsian, Jumat (25/2/2022).

Nahas, bersamaan dengan teriakannya itu, rumah-rumah yang ada di sekitar tempat dia berdiri secara bersamaan roboh, termasuk kediamannya.

Dia pandangi rumahnya yang sudah hancur itu. "Alhamdulillah!" sesaat itu ia melihat anak menantunya berusaha keluar dari reruntuhan rumah. Mereka selamat karena berlindung dengan sebuah pintu yang lepas. Pintu itu jadi benteng anak dan menantunya dari reruntuhan rumah.

Jumat (25/2/2022) lindu berkekuatan 6,1 SR menggoyang Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat. Data sementara menyebut, hingga Minggu (27/2/2022), gempa itu menyebabkan 11 orang meninggal, 4 orang hilang, 42 orang mengalami luka berat, 346 orang luka ringan, dan 13 ribu orang mengungsi.

Lindu yang terjadi di Sumatra Barat itu bukan untuk pertama kalinya. Provinsi itu, memiliki sejarah kegempaan panjang. Gempa beberapa kali mengguncang daerah itu. Berdasarkan catatan sejarah, bencana gempa bumi merusak di Sumbar pernah terjadi pada 1822, 1835, 1981, 1991, 2005, dan 2009 terjadi di Padang. Pada 1926 dan 1943 di Singkarak. Pada 1977 di Pasaman, 2003 di Agam, serta gempa 2007 di Bukittingi dan sekitarnya.

Sumatra Barat memang masuk dalam daerah yang rawan digoyang lindu. Daerah itu, dilalui oleh patahan geser Sesar Semangko. Sesar ini terdiri dari empat segmen. Yakni, segmen Sumpur yang merupakan lanjutan dari segmen Angkola dan Barumun; segmen Sianok; segmen Sumani dan segmen Suliti di Solok Selatan yang berhubungan dengan segmen Siulak di Kerinci.

Karena punya potensi kegempaan, sebenarnya nenek moyang orang Minang telah mewariskan teknik adaptasi berhuni dalam bentuk rumah-rumah tahan gempa.

Bangunan di sepanjang zona patahan Sumatra bentuknya memang beragam. Namun sepertinya merek memiliki kesamaan teknik konstruksi: rumah panggung berbahan kayu dengan tiang utama ditumpukan di atas batu, sambungan direkatkan dengan pasak atau ikatan, dan atap ringan sejenis ijuk. Intinya, struktur bangunan dibuat lentur sehingga mampu meredam guncangan vertikal dan gaya horizontal gempa.

Di Sumatra Barat, salah satu kearifan lokal itu terwujud dalam arsitektur rumah gadang. Bangunan itu, merupakan bentuk cara nenek moyang mereka mengantisipasi lindu. Dalam membangun rumah gadang, orang Minang punya cara dan prinsip dalam memilih bahan, merancang struktur, dan teknik membangun rumah gadang.

Dosen Arsitektur Universitas Bung Hatta, Padang, Eko Alvares yang telah meneliti dan mendokumentasikan rumah gadang, menyebut rumah-rumah gadang yang telah berusia ratusan tahun terbukti tahan terhadap beberapa kali gempa yang melanda Sumatera Barat.

Kunci kekuatan rumah gadang tahan gempa, kata Eko, terletak pada tiang-tiang utama dari kayu yang diletakkan di atas umpak batu. Tiang rumah ini bukan disusun tegak lurus, tetapi sengaja dibuat miring dengan sudut semakin mengecil ke bawah dan jika ditarik lurus akan bertemu di satu titik di dalam bumi.

Konstruksi itu, menciptakan badan rumah gadang berbentuk segi empat yang membesar ke atas berbentuk trapesium terbalik. Tiang-tiang rumah yang sengaja di buat miring itu menjamin kekokohan rumah.

Sedangkan teknik pasak pada sambungan (tanpa paku) juga membuat struktur rumah tidak patah ketika terjadi gempa. Kenapa? Karena teknik sambungan itu, memungkinkan balok-balok penyangga berputar seperti engsel.

Sementara dinding rumah dibuat dari papan kayu atau bambu yang relatif ringan dan lentur sehingga rumah tidak retak atau runtuh akibat guncangan.

Sayangnya, kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang mereka itu kini mulai ditinggalkan. Saat ini, masyarakat lebih memilih membangun rumah dari batu bata dan bahan-bahan yang lebih modern. Mereka seakan lupa bahwa mereka hidup di tengah wilayah yang rawan lindu.

Hilangnya rumah gadang berarti hilang juga bukti penting kemampuan adaptasi masyarakat yang berhuni di zona rawan gempa ini.(*)

(Warga berjalan di depan Rumah Gadang Kajang Padati yang rusak di Gunung Sarik, Kecamatan Kuranji, Padang, Sumatera Barat, Selasa (22/2/2022). Rumah Gadang Kajang Padati adalah Rumah Gadang khas Kota Padang yang tidak memiliki atap berbentuk gonjong, melainkan mengadopsi bentuk atap pedati namun kini keberadaannya hampir punah dan kalah pamor dengan rumah gadang bagonjong di wilayah darek (darat) Minangkabau. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.)