Bencana yang Mengerikan Dunia

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Kamis, 24 Februari 2022 | 21:30 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 357


Jakarta, InfoPublik - "Kita tahu perubahan iklim dunia arahnya makin mengerikan. Semua negara sudah ngeri dan sudah alami bencana yang awalnya tak ada, kemudian ada."

Kalimat itu diucapkan Presiden Joko Widodo saat membuka  Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana, di Jakarta, Rabu (23/2/2022).

Jokowi tak sedang mengada-ada. Perubahan iklim memang sedang melanda dunia. Indonesia berada pada urutan keenam negara terdampak pemanasan global ini dengan skor 9,54. Urutan kelima ada Filipina dengan skor 9,59 Cina berada di peringkat teratas dengan skor 9,98 dari 10. India berada pada posisi kedua dengan skor 9,91.

Hal itu didasarkan pada survei yang dilakukan uswitch.com. Tim peneliti mencatat peristiwa bencana itu mulai 1902 sampai 2021. Data diperoleh dari database kejadian darurat yang diklaim tertulis lengkap di lembaga naungan Badan Kesehatan Dunia (WHO), organisasi nonpemerintah, perusahaan asuransi, lembaga penelitian, lembaga pers, dan Pemerintah Belgia, Emergency Events Database (EM-DAT).

EM-DAT ini berisi data inti tentang peristiwa alam lebih dari 22.000 bencana massal di dunia, dari 1900 hingga saat ini.

Bencana yang diteliti adalah kekeringan, gempa bumi, epidemi, suhu ekstrim, banjir, kabut, ledakan danau glasial, dampak luar angkasa, dan serangan serangga. Juga bencana tanah longsor, badai, aktivitas gunung berapi, gerakan massa hingga kebakaran hutan, masuk dalam fokus penelitian. Termasuk juga dampak bencana alam seperti kerusakan yang ditimbulkan, orang yang terkena dampak, dan jumlah korban jiwa.

"Indonesia termasuk 35 negara paling rawan di dunia. Hampir tiap hari ada bencana di negara kita," kata Jokowi.

Bencana itu membawa risiko kerugian besar. Baik jumlah korban dan material. Karena itu, Jokowi meminta penanggulangan bencana dilakukan terpadu, sistematik dan sesuai rencana induk penanggulangan bencana 2020-2044.

Indonesia memang telah berkomitmen dan bertekad ikut berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca. Mengutip http://ditjenppi.menlhk.go.id/, komitmen dan kontribusi itu dilakukan atas dasar sukarela (voluntary), penuh rasa tanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara (sesuai dengan prinsip “common but differentiated responsibilities–respected capabilities/CBDR-RC").

Di tingkat internasional, Indonesia telah terlibat aktif sebagai salah satu negara peratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protocol Kyoto. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim), termasuk dalam negara Non-Annex I.

Dengan meratifikasi itu, Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC atau Kerangka Kerja PBB dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut.

Indonesia juga telah menunjukkan peran pentingnya di tingkat dunia sebagai tuan rumah COP-13 tahun 2007 di Bali. Pertemuan itu menghasilkan Bali Action Plan yang menempatkan peran penting hutan Indonesia melalui pelaksanaan skema REDD+ serta dihasilkannya studi IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance). Bali Action Plan di antaranya menyepakati adanya Policy Approaches and Positive Incentives for REDD+ in Developing Countries.

Kesepakatan ini memungkinkan Indonesia memberikan solusi terhadap deforestasi di negara berkembang agar dapat dikurangi, namun tetap dapat melanjutkan pembangunan nasionalnya.

Komitmen dan kontribusi Indonesia kembali ditunjukkan dengan meratifikasi Perjanjian Paris di New York pada tanggal 22 April 2016. Perjanjian Paris ini juga memposisikan hutan sebagai kunci dari upaya penurunan gas rumah kaca.

Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris. Komitmen Indonesia itu juga dituangkan dalam Nawa Cita Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin. Nawa Cita ini kemudian menjadi dasar bagi penyusunan dokumen the First Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang telah disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada bulan November 2016.

First NDC Indonesia menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim. NDC dipergunakan sebagai salah satu acuan pelaksanaan komitmen mitigasi perubahan iklim dengan rencana penurunan emisi hingga tahun 2030 sebesar 29 persen hingga 41 persen. Komposisi penurunan emisi itu terdiri dari kehutanan (17.2 persen), energi (11 persen), pertanian (0.32 persen), industri (0.10 persen), dan limbah (0.38 persen).

Karena itu tak salah dalam rapat koordinasi dengan BNPB itu, Jokowi meminta agar BNPB untuk terus membangun pelbagai infrastruktur pendukung guna mengurangi risiko bencana. Pembangunan itu juga harus bersinergi dengan pelbagai elemen masyarakat.

Jokowi juga mewanti-wanti agar penanaman pelbagai tanaman penghambat ombak tsunami dan topan seperti bakau, cemara pantau, ketapang terus digalakkan. (*)

(Warga berjalan menembus banjir di Pasar Youtefa Abepura, Jayapura, Papua, Jumat (7/1/2022). Berdasarkan data BNPB hujan lebat dan tanah longsor di sejumlah wilayah Jayapura telah mengakibatkan enam orang meninggal dunia. ANTARA FOTO/Fredy Fakdawer/wpa/hp.)