Jejak Ibu Kota Nusantara

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Rabu, 19 Januari 2022 | 20:04 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 357


Jakarta, InfoPublik - Ketua DPR Puan Maharani meraih palu yang ada di depannya. "Tok." Palu diketuk begitu rapat paripurna ke-13 DPR menyetujui Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (IKN) disahkan menjadi Undang-undang.

Hanya Fraksi PKS yang menolak pengesahan RUU itu. Sedangkan delapan fraksi lainnya menyatakan persetujuannya.

Salah satu isi UU itu menyebut nama ibu kota negara baru yakni Nusantara. Nama ibu kota itu telah disebut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, sehari sebelum DPR mengesahkan UU IKN.

Pilihan nama Nusantara merupakan instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo. Kata Suharso, ibu kota Nusantara yang terletak di Kalimantan Timur itu dipilih karena kata tersebut sudah dikenal sejak lama dan ikonik di dunia internasional. Usulan nama itu juga disepakati Panitia Kerja Pansus RUU IKN.

"Kata itu menggambarkan kenusantaraan kita semua, republik Indonesia, dan saya kira kita semua setuju dengan istilah Nusantara itu," kata Suharso dalam rapat panitia kerja RUU IKN di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/01/2022).

Muasal Nusantara
St. Munadjat Danusaputro, guru besar hukum laut dan lingkungan menyebut, kata Nusantara merupakan terjemahan dari kata Dwipantara (bahasa Sansekerta). Kata Dwipantara ini bisa ditemukan dalam kitab Ramayana yang ditulis pada 300-415 masehi.

Dwipantara berarti kumpulan pulau yang terletak di antara muasa sungai Gangga dan pelabuhan di Cina. "Dalam terjemahannya menjadi Nusantara. Artinya menunjukkan kumpulan pulau-pulau di luar Majapahit," kata Munadjat seperti dilansir historia.id.

Kata Nusantara ini juga bisa ditemukan dalam kitab Negarakertagama. Artinya pulau-pulau di luar Jawa. Dalam kitab karya Mpu Prapanca ini Nusantara juga disebut Sadwipantara, Degantara, dan digantara.

Menurut Munadjat, kata Nusantara untuk pertama kalinya ditemukan dalam prasasti Penampihan. Prasasti yang disebut juga dengan prasasti Gunung Wilis ini dikeluarkan Kertanagara, raja terakhir Singhasari pada 1911 Saka atau 1269 Masehi. Penyebutan prasasti Gunung Wilis ini mengacu pada tempat ditemukannya benda itu yakni di lereng Gunung Wilis, Jawa Timur.

Hal ini, kata Munadjat, bisa dilihat dari temuan JLA Brandes, ahli filologi, epigrafi, dan leksikografi Belanda. Dalam prasasti itu tertulis, "ya, paranitijna, nusantaramadhuranathanklakarana..." Artinya, "ya, ahli dalam politik luar negeri, bersahabat dengan raja-raja Madura dan Nusantara..."

Dalam literatur Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16), nama itu digunakan untuk menggambarkan konsep kenegaraan yang dipakai Kerajaan Majapahit.

Penegasan itu termuat dari naskah Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Mahapatih Gadjah Mada saat ia diangkat menjadi Patih Amangkubumi Kerajaan Majapahit. Isi naskah yang diucapkan pada 1336 adalah sebagai berikut:

“Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.”

Artinya, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikian saya (baru akan) melepaskan puasa."

Secara morfologi, istilah ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa Kuno, yaitu Nusa (pulau) dan Antara (lain atau seberang). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pulau-pulau yang berada di luar pulau Jawa kala itu.

Nama itu sempat tenggelam setelah keruntuhan Majapahit. Namun nama itu kembali dimunculkan Ki Hajar Dewantara sekitar 1920-an. Ia menggunakannya dalam rangka mencari alternatif dari negara merdeka setelah Hindia-Belanda selain “Indonesia” dan “Insulinde”.(*)

(Ketua DPR Puan Maharani (kiri) menerima dokumen hasil pandangan pemerintah dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa (kanan) yang disaksikan oleh Sufmi Dasco Ahmad (kedua kiri) dan Muhaimin Iskandar (ketiga kiri) pada Rapat Paripurna ke-13 DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 yang beragendakan Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Ibu Kota Negara di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/1/2022). Dalam rapat tersebut DPR mengesahkan RUU Ibu Kota Negara (IKN) menjadi Undang-Undang. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.)