Cerita Lindu Berbasis Kearifan Lokal

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Minggu, 19 Desember 2021 | 20:06 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Laut Flores dan Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT), goncang pada  Selasa (14/12/2021), pukul 10.20 WIB atau 11.20 WITA. Gempa atau lindu  berkekuatan 7,4 skala richter, hari itu, berpotensi tsunami. Karena itu warga di Maumere yang terdampak pun cepat siaga, sigap menyelamatkan diri.

Lindu kali ini bukanlah yang pertama di NTT. Menurut Kepala bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono, NTT merupakan daerah rawan tsunami. "Sejak tahun 1800-an di busur Kepulauan Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT) sudah terjadi lebih dari 22 kali tsunami," kata Daryono, Selasa (14/12/2021) malam.

Karena menjadi langganan lindu, masyarakat di beberapa desa di Nusa Tenggara Timur punya mitigasi gempa bumi berbasis kearifan lokal. Hal ini bisa dibaca dari sejumlah penelitian yang ada.

Seperti yang terjadi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Jika lindu terjadi, masyarakat setempat akan berhamburan keluar rumah sambil berteriak, "ami norang, (kami ada)." Mereka akan mencari tanah lapang, atau tempat yang aman untuk berlindung.

Pun masyarakat Desa Mukebuku dan Lakamola Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao. Kalimat “ami nai ia o...” (kami ada) akan mereka teriakkan.

Masyarakat desa-desa itu punya mitos, gempa bumi diakibatkan oleh ular naga yang lapar karena tidak diberi makan (sesaji) manusia. Karena tak diberi sesaji, ular naga itu murka dengan cara menggetarkan bumi.

Menurut Jonas Thene dalam tulisannya di sebuah jurnal yang terbit 2016, mitos itu memberi inspirasi kepada manusia agar memelihara serta mengembangkan sebuah keserasian hidup bersama antara makro-kosmos, mikro-kosmos dan Yang Tak Kelihatan. Masyarakat dua desa ini memang memiliki filosofi keharmonisan, baik dengan Ilahi, sesama, dan alam.

Perasaan senasiblah yang menggerakkan manusia untuk sadar akan makna kolektivitasnya sebagai makhluk sosial.

Bagi masyarakat Desa Mukebuku dan Lakamola, Lindu merupakan simbol kesuburan. Dengan adanya lindu, pohon pohon lontar (Borassus) penopang kehidupan ekonomi masyarakat setempat akan tumbuh subur.

Berbeda dengan masyarakat Lio-Ende yang tinggal di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Di sini mereka memiliki guyub (pengetahuan) tentang lindu. Pengetahuan itu berupa mitos tentang banga (kumbang besar). Menurut cerita yang berkembang, suatu ketika seekor banga yang baru saja kembali dari perjalanan menelusuri lorong-lorong di setiap pelosok bumi, menyampaikan kabar kepada sang empunya bumi.

Kumbang besar itu berkata, selama menjelajahi bumi ia tidak pernah bertemu atau berjumpa dengan manusia. Mendengar kabar itu, sang pemilik bumi merasa kesal dan marah-marah. Karena kesal, pemilik bumi menggoncang bumi beberapa kali.

Merasakan adanya goncangan hebat itu, manusia pun berhamburan keluar rumah. Mereka
berteriak, "epu weo, epu weo, kami zatu...kami zatu, banga sodho tipu, banga tipu."
(gempa bumi, gempa bumi, kami ada...kami ada, kumbang besar tipu, dia tipu).

Menurut Sunimbar, dalam Prosiding Seminar Nasional diselenggarakan Pendidikan Geografi FKIP UMP berjudul: “Manajemen Bencana di Era Revolusi Industri 5.0, disebutkan, cerita mengandung pesan moral penting. Pertama, pemakaian simbol binatang (kumbang besar) mengungkapkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya harus harmonis. Keharmonisan hanya bisa dibentuk dengan saling memberi dan menerima. Kedua, sebelum munculnya ilmu pengetahuan moderen, manusia punya cara tersendiri untuk menjawab fenomena alam.

Mitos tentang lindu di atas merupakan cara manusia mengatasi rasa takut, derita dan kesedihannya akibat gempa bumi tektonik. Ketika bumi berguncang, manusia memanjatkan doa bahwa dibalik peristiwa gempa bumi, ada harapan hidup yang lebih baik.

Teriakan "kami zatu" (kami ada) sebenarnya mengungkapkan eksistensi manusia sebagai makluk yang ada. Derita dan kesedihan sebenarnya tidak ada dalam hidup manusia. Ia hanya salah tahap dalam proses mencari kebahagiaan. Derita dan nestapa tidak kekal, yang kekal hanyalah kebahagiaan hidup manusia itu sendiri.

Ketiga, kerjasama yang baik antara manusia dengan sesamanya. Tidak ada sikap saling curiga dan saling menjatuhkan. Ungkapan "Banga sodho tipu...banga tipu" adalah sikap saling menjatuhkan di antara manusia.

(Suasana kemacetan lalu lintas saat warga hendak mengungsi ke tempat yang lebih aman menyusul adanya peringatan dini tsunami di Kota Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Selasa (14/12/2021). Gempa berkekuatan 7,4 skala richter pada pukul 11.20 Wita di Laut Flores tersebut disusul adanya peringatan dini tsunami dari BMKG sehingga mengakibatkan warga di Kota Maumere berhamburan mengungsi karena trauma dengan tsunami yang pernah terjadi pada tahun 1992. ANTARA FOTO/Siska/KK/hp.)