Beragam Pangan Lokal untuk Atasi Stunting

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Sabtu, 4 Desember 2021 | 04:06 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 760


Jakarta, InfoPublik - Baizul Fitri terkejut saat membawa anaknya ke posyandu. Bidan posyandu di sebuah di desa di Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebut anaknya mengalami stunting. Berat dan tinggi badan tidak sesuai dengan usia anaknya. "Padahal saya paling rajin kasi anak saya susu," kata dia.

Keluarga Baizul Fitri tidak sendirian mengalami hal itu. Di Indonesia, ada jutaan keluarga yang anak-anaknya mengalami stunting.

Mengutip dashbord Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri 2021, di NTB ada 368.865 atau 21,7 persen anak mengalami stunting. Dari data itu, NTB merupakan provinsi kedua yang punya angka prevalensi stunting tinggi. Urutan pertama ditempati provensi NTT.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi yang berulang, dan simulasi psikososial yang tidak memadai. Apabila seorang anak memiliki tinggi badan lebih dari -2 standar deviasi median pertumbuhan anak yang telah ditetapkan oleh WHO, maka ia dikatakan mengalami stunting.

Masalah stunting di Indonesia adalah ancaman serius yang memerlukan penanganan yang tepat. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, prevelensi stunting di Indonesia mencapai 27,7 persen. Artinya, sekitar satu dari empat anak balita (lebih dari delapan juta anak) di Indonesia mengalami stunting. Angka tersebut masih sangat tinggi jika dibandingkan dengan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu 20 persen.

Angka stunting di Indonesia memang sangat mengkawatirkan. Dalam rilis tentang laporan level malnutrisi anak edisi 2021 UNICEF memprediksi di Indonesia ada 31,8 persen anak yang mengalami stunting. Dengan angka itu Indonesia meraih predikat very high (sangat tinggi).

Jika dibanding negara-negara di Asia, angka stunting di Indonesia memang lebih tinggi. Di Korea Selatan angka stunting hanya 2,2 persen, Jepang (5,5 persen), Malaysia (20,9 persen), Cina (4,7 persen), Thailand (12,3 persen), Filipina (28,7 persen), dan Kenya (19,4 persen).

Namun angka stunting di Indonesia masih lebih rendah dibanding Kongo (40,8 persen), Ethiopia (35,3 persen), dan Rwanda (32,6 persen).

Pada awal 2021 lalu, Presiden Joko Widodo menunjuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk memimpin penurunan angka prevalensi stunting. Dalam arahannya, Jokowi meminta agar BKKBN membuat program luar biasa untuk menangani stunting ini. Ditargetkan pada 2024 angka prevalensi stunting bisa sampai 14 persen. Artinya, setiap tahun harus berkurang 27,6 persen.

Penekanan target kembali diulang Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat menerima kunjungan Kepala BKKBN Hasto Wardoyo di Istana Wapres, Selasa (30/11/2021).

Dalam pertemuan itu Ma'ruf menekankan agar daerah-daerah menggali potensi pangan lokal untuk jadi makanan masyarakat. Banyak potensi pangan lokal yang punya nilai gizi di sekitar kita. Namun kita kerap abai.

"Masing-masing daerah (tentu) punya kearifan lokal sendiri-sendiri. Bagaimana ibu-ibu ataupun keluarga sejak dini, dengan kearifan lokalnya memanfaatkan sumber-sumber gizi yang ada di sekitarnya secara maksimal," ujar Juru Bicara Wapres Masduki Baidlowi, dalam siaran pers, Rabu (1/12/2021).

Ma'ruf tak salah. Banyak pangan lokal di sekitar kita yang punya nilai gizi tinggi. Beberapa komoditas itu yakni:
1. Singkong
Sebagai komoditas pangan, singkong sangat mudah kita temui di berbagai daerah. "Singkong sangat potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan bernutrisi karena memiliki kandungan betakaroten yang tinggi,” ujar peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Ahmad Fathoni.

Sayangnya, singkong belum menjadi sumber pangan utama. Sebagai konsumsi pangan, singkong kalah populer dengan padi, jagung, dan kedelai.

Menurut Fathoni, salah satu faktor yang menyebabkan singkong kurang populer karena minimya inovasi olahan. “Karena itu LIPI mengembangkan singkong sebagai bahan pangan olahan berupa tepung termodifikasi atau mocaf kaya beta karoten, untuk bahan baku pembuatan mie sayur,” kata dia.

2. Sorgum
Sorgum bisa dikonsumsi sebagai pengganti nasi. Bahan pangan ini bebas gluten sehingga bisa menjadi solusi bagi anak berkebutuhan khusus.

Renata Puji Sumedi Hanggarawati, Agroecosystem Program Manager dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) menerangkan di NTT terdapat banyak sekali varian sorgum yang kaya serat dan tumbuh subur di lahan kering.

Sorgum memiliki kandungan protein, kalsium, zat besi, fosfor, dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibanding beras. Sorgum mengandung mineral khususnya unsur Fe yang cukup memadai yaitu 4-5,5 mg/100g, mineral yang terkandung dapat mengatasi stunting (terhambat pertumbuhan & perkembangannya) pada anak usia tumbuh.

3. Jewawut
Jewawut dibuat seperti bubur jagung dengan cita rasa yang agak manis. Di NTT bisanya jewawut dijadikan menu sarapan atau snack sore.

Bubur dari jewawut ini kerap dimanfaatkan oleh masyarakat NTT untuk memulihkan kesehatan orang yang baru melahirkan. “Ini seperti tradisi yang diterapkan secara turun temurun. Setiap kali ada yang baru melahirkan, mereka akan membuatkan bubur jewawut, yang bentuknya seperti jali-jali,” kata Puji.

3. Kacang-kacangan
NTT adalah surganya kacang. Ada kacang tanah dari Sumba, kacang hijau dari Flores Timur, kacang merah pun macam-macam. Ada pula kacang merah Ende, Paleo, dan Flores Timur, dengan rupa polos maupun seperti batik.

4. Daun Kelor
Selain mengandung antioksidan yang sangat tinggi, daun kelor juga mengandung vitamin C. Kandungan vitamin C-nya 7 kali lipat lebih tinggi daripada jeruk. Sementara potasiumnya 15 kali lipat lebih banyak daripada pisang.

Sayangnya, sumber pangan itu semua belum mendapat tempat di meja makan penduduk Indonesia. Ironisnya dengan sumber pangan melimpah itu, prevalensi stunting di Indonesia berada pada urutan keempat di dunia.

(Hamparan tanaman sorgum. Foto: pixabay)