Waspadai Kekerasan Seksual pada Anak

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Selasa, 30 November 2021 | 17:40 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 702


Jakarta, InfoPublik - Data yang diungkap Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu cukup mengerikan. Dalam catatan LPSK, sejak 2016 hingga Juni 2020 ada 926 permohonan perlindungan terhadap anak yang masuk ke LPSK. Permohonan tertinggi berasal dari Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta, lalu Sumatera Utara.

Dari jumlah itu, sebanyak 482 di antaranya merupakan korban kekerasan seksual, 133 anak menjadi korban perdagangan orang, dan sisanya dari berbagai kasus yang menempatkan anak menjadi korban. Sementara 106 anak menjadi korban eksploitasi perdagangan seksual.

Pada 2019, LPSK mencatat ada sebanyak 350 perkara. Jumlah ini meningkat 70 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah itu sejumlah kasus kekerasan seksual terjadi di pesantren atau asrama sebanyak 16 kasus, SD sembilan kasus, TK dan universitas sama-sama dilaporkan tiga kasus. Sementara, sekolah menegah atas (SMA) dan sekolah luar biasa (SLB) masing-masing satu kasus.

"Secara nasional kejahatan seksual terhadap anak itu meningkat tajam dan modus baru yang semakin terlihat adalah yang berhubungan teknologi infomasi," Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Antonius PS Wibowo di Kejaksaan Negeri Depok, Rabu (29/11/2021) siang.

Modus yang dilakukan pelaku beragam, di antaranya penyebaran foto pribadi korban. Penyebaran foto pribadi korban dilakukan untuk memeras korban yang masih berusia di bawah 18 tahun.

Ia menduga, pandemi COVID-19 juga memengaruhi peningkatan itu. Saat ini, kata Antonius, banyak orang yang harus berhubungan dengan teknologi informasi selama masa pandemi COVID-19.

Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak ini memang cukup memprihatinkan. Biasanya kasus-kasus itu dilakukan orang yang cukup dekat atau dikenal korban.

Firesta dari klinik psikologi Mentari Anakku menjelaskan, angka pelecehan terhadap anak di bawah umur oleh orang yang mereka kenal memang bukan main-main besarnya. Menurut psikolog Gisella Tani Pratiwi, sekitar 90 persen pelaku kekerasan seksual terhadap anak ialah orang-orang yang mereka kenali dan bahkan memiliki hubungan yang dekat dengan mereka, termasuk guru dan pemuka agama.

Seperti yang terjadi di Depok. Pelecehan atau kekerasan seksual dilakukan oleh Syahril Parlindungan Marbun tertunduk. Bekas pembimbing salah satu kegiatan di gereja. Ia memanfaatkan kekuasaannya untuk mencabuli anak bimbingannya selama hampir 20 tahun terakhir.

Akibat tindakannya itu, ia dijatuhi hukuman kurungan 15 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.

Penangkapan Syahril dilakukan pada 4 Juni 2020 setelah pihak gereja menggelar investigasi internal.

Menurut kuasa hukum korban, Azas Tigor Nainggolan, lebih dari 20 anak menjadi korban kekerasan seksual Syahril.

Efek Psikologi
Firesta menyebut, korban kekerasan yang masing anak-anak punya ketakutan yang luar biasa jika ingin menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya. Salah satunya ancaman dari pelaku. Biasanya pelaku meminta sang anak diam, tidak menceritakan apa yang dialaminya. Akibat takut menceritakan, ia akan cenderung mengalami kekerasan seksual berkali-kali.

Menurut Gisella, psikolog anak dari Yayasan Pulih, efek trauma pada anak yang menjadi korban kekerasan seksual bisa berlangsung lama. Trauma ini bisa semakin intens saat korban kembali melihat pelaku, baik secara langsung maupun tidak langsung di layar kaca.

Korban merasa lebih marah dan kecewa jika orang yang telah melecehkannya secara seksual kembali diterima oleh masyarakat, bahkan disambut dan kembali dipuja.

Dampak lainnya adalah proses pemulihan luka psikologis yang korban sedang jalani bisa mengalami kemunduran. Contohnya, kualitas tidur korban yang sebelumnya telah membaik karena mendapatkan pendampingan psikologis, bisa kembali memburuk.

Bentuk Kekerasan Seksual
Ada dua bentuk kekerasan yang biasa dilakukan: fisik dan non fisik.

Secara fisik kekerasan seksual bisa dikenali sebagai berikut:
- Menyentuh area intim atau kemaluan anak untuk memenuhi gairahnya.
- Pelaku minta korban menyentuh bagian privat atau kemaluannya.
- Membuat anak ikut bermain dalam permainan seksualnya.
- Memasukkan sesuatu ke dalam kemaluan atau anus anak.

Sedangkan kekerasan seksual non fisik biasanya dilakukan:
- Menunjukkan hal-hal yang bersifat pornografi pada anak, entah itu video, foto, atau gambar.
- Menyuruh anak berpose tidak waja.
- Menyuruh anak untuk menonton video porno.
- Mengintip atau menonton anak yang sedang mandi atau sedang berada di dalam toilet.

Pelecehan seksual terhadap anak atau siapapun bukan semata tentang seks. Inti dari masalah ini adalah penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas.

Pelaku mungkin mencoba untuk meyakinkan korban bahwa perilaku pelecehan yang ia lakukan sebenarnya adalah ketertarikan seksual dan keinginan romantis semata.

Kebanyakan pelecehan seksual dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Namun, ada juga kasus pelecehan perempuan terhadap laki-laki, dan juga dengan sesama jenis (baik sesama laki-laki maupun perempuan).

(Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. Foto: pixabay)