Dari Amerika untuk Indonesia

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Sabtu, 27 November 2021 | 09:21 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 445


Jakarta, InfoPublik - Nama lengkapnya Novalia Pishesha. Nova --begitu ia biasa disapa--adalah WNI yang sedang mengikuti junior fellow atau peneliti junior di Society of Fellows, Universitas Harvard.

Namanya mulai diperbincangkan dalam sebulan terakhir berkat penelitiannya yang diterbitkan di jurnal ilmiah PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America). Penelitiannya menyangkut kandidat vaksin COVID-19 berbasis protein.

Nova bercerita, penelitian tentang vaksin COVID-19 itu karena terpantik menggunakan teknologi nanobodi. Teknologi ini sebelumnya pernah ia kembangkan untuk pengobatan penyakit autoimun.

Kandidat vaksin yang diteliti Nova itu menyasar langsung sel-sel penyaji antigen. Ia mulai memimpin penelitian pada April 2020 bersama koleganya, Hidde Ploegh dan Thibault J. Harmand.

Dalam penelitian itu, ia beserta timnya mengujicobakan vaksin itu terhadap tikus muda dan tua. Hasilnya, metode itu memicu kekebalan tubuh tikus terhadap SARS-CoV-2–virus penyebab COVID-19–dan variannya, kecuali Delta.

“Kandidat vaksin ini 100 persen efektif terhadap semua tikus,” ujar Nova seperti dilansir VOA Rabu, (20/10/2021).

Menurut dia, vaksin buatannya mengandung dua komponen dasar, yaitu nanobodi – antibodi dari hewan alpaka – dan bagian dari paku protein virus SASR-CoV-2 yang berfungsi mengikat reseptor pada sel manusia. Dalam penelitian ini, ia menggunakan sekuens asli dari paku protein SARS-CoV-2 Wuhan.

Nova yakin, vaksin berbasis protein yang dikembangkan memiliki sejumlah kelebihan dibanding vaksin-vaksin COVID-19 lain yang sudah beredar. Kelebihan yang dimaksud adalah, vaksin yang dibuat itu protein-based. Dengan berbasis protein, vaksin menjadi lebih mudah dibuat.

Selain itu, pendistribusian vaksin juga tidak memerlukan perlakuan khusus. "Kalau misalnya (vaksin) mRNA kan harus (disimpan pada suhu) dingin. Tapi yang ini bisa dikeringkan atau dilyophilized (pengeringan beku)," ujar doktor lulusan Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini.

Bukan tanpa alasan Nova mengembangkan vaksin berbasis protein ini. Kata dia, pengembangan itu sengaja dilakukan agar mudah diproduksi di Indonesia yang sudah memiliki teknologi mapan untuk memanufaktur vaksin-vaksin berbasis protein.

Pengembangan vaksin ini tak lepas dari cita-cita lama Nova. Sejak lama, perempuan yang menamatkan SMA di Singosari, Malang, Jawa Timur, sudah ingin menguasai ilmu yang bisa membantunya menolong orang-orang sakit. Cita-cita itu dipicu karena beberapa orang terdekatnya meninggal tiba-tiba karena lupus.

Setelah SMA, ia sempat kuliah di kedokteran namun keluar karena tidak cocok dengan sistem pendidikan di kampusnya. Dia lalu merantau ke San Francisco, Amerika Serikat. Di San Francisco, ia kuliah di City College of San Francisco dan lulus dalam bidang rekayasa hayati dari University of California at Berkeley pada 2011 melalui beasiswa.

Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikannya di Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada tahun 2012. Gelar PhD diraihnya dalam bidang yang sama pada tahun 2018.

Temuan Nova ini juga sudah didengar pemerintah Indonesia. Dalam kunjungan ke AS awal Oktober lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bertemu dengan Nova. Namun sampai saat ini belum ada keterangan lebih jauh tentang rencana pemerintah dalam menanggapi penemuan kandidat vaksin COVID-19 oleh Nova dan timnya.

(Petugas kesehatan mempersiapkan cairan vaksin COVID-19 di Lhokseumawe, Aceh, Jumat (19/11/2021). Satgas Penanganan COVID-19 Aceh menyebutkan, hingga 14 November 2021 vaksinasi dosis I sudah diberikan kepada 1.382.413 orang (34,3 persen), dan dosis II sebanyak 750.454 orang (18,6 persen) dari total sasaran vaksinasi COVID-19 penduduk Aceh mencapai 4.028.891 orang. ANTARA FOTO/Rahmad/foc.)