Waspadai Varian Nu Menjelang Akhir Tahun

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Sabtu, 27 November 2021 | 09:18 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 333


Jakarta, InfoPulik - Profesor Tulio de Oliveira, Direktur Pusat Respons dan Inovasi Epidemi Afrika Selatan terkejut. Saat melakukan meneliti mutasi virus korona, ia menemukan hal yang disebutnya "tidak biasa dan berbeda."

Hal yang "tidak biasa dan berbeda" itu merupakan varian baru virus korona. Varian B.1.1.529 disebut Badan Kesehatan Dunia (WHO) sebagai varian Nu.

Varian yang diturunkan dari garis keturunan B.1.1, mempunyai jumlah mutasi sangat tinggi ini dikhawatirkan sangat menular, dan efektif menghindari respons imun tubuh.

Kasus pertama dari varian ini ditemukan di Botswana pada 11 November. Tiga hari kemudian varian baru ini sudah menyebabkan 77 kasus di provinsi Gauteng Afrika Selatan, dan satu di Hong Kong.

Di Hong Kong, kasus ditemukan pada seorang pria berusia 36 tahun yang dites PCR negatif sebelum terbang dari Hong Kong ke Afrika Selatan. Di Afrika ia sempat tinggal mulai 22 Oktober hingga 11 November. Sekembali dari Afrika ia kembali dites dan hasilnya positif.

"Varian B.1.1.529 ini dua kali lipat jumlah mutasi yang telah kita lihat pada varian Delta," kata Oliveira, Kamis (25/11/2021). Varian ini disebutnya lebih mudah menular.

Yang menjadi perhatian peneliti saat ini adalah soal efektivitas vaksin yang tersedia. Sebab, virus ini sangat berbeda dari wujud awalnya yang muncul di Wuhan, Cina. Menurut Oliveira, karena berbeda dari virus awalnya, kemungkinan vaksin yang ada saat ini kurang efektif untuk menangkalnya.

Penelitian yang dilakukan profesor mikrobiologi klinis Universitas Cambridge, Ravi Gupta di laboratorium menemukan dua mutasi pada B.1.1.529 meningkatkan infektivitas dan mengurangi pengenalan antibodi. Karenanya, varian itu memang terlihat menjadi perhatian yang signifikan berdasarkan mutasi yang ada.

Varian B.1.1.529 memiliki 32 mutasi pada spike protein, bagian dari virus yang digunakan sebagian besar vaksin untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh melawan COVID. Mutasi pada spike protein dapat memengaruhi kemampuan virus untuk menginfeksi sel dan menyebar, tetapi juga mempersulit sel kekebalan untuk menyerang patogen.

Menurut penelitian, protein lonjakan yang melapisi bagian luar virus memungkinkannya menempel dan masuk ke sel manusia.

Yang belum diketahui dari varian ini adalah daya menularnya. “Pelarian kekebalan hanyalah bagian dari gambaran tentang apa yang mungkin terjadi,” kata Ravi Gupta.

Menurut Gupta, sejumlah besar mutasi pada varian sepertinya terakumulasi dalam ledakan tunggal, yang menunjukkan ini mungkin telah berkembang selama infeksi kronis pada seseorang dengan sistem kekebalan yang lemah.

Temuan para peneliti itu baru dugaan awal. Sejauh mana kebenarannya, sejumlah peneliti masih melakukan pendalaman.

"Untuk saat ini harus dipantau dan dianalisis dengan cermat, tetapi tidak ada alasan untuk terlalu khawatir kecuali jika frekuensinya mulai meningkat dalam waktu dekat,” ujar Direktur Institut Genetika UCL Prof Francois Balloux.

(Warga antre untuk mendapatkan suntikan vaksin COVID-19 di Gedung Pusdai, Bandung, Jawa Barat, Senin (22/11/2021). Pemerintah Kota Bandung mengklaim kekebalan kelompok atau herd immunity sudah terbentuk di Kota Bandung seiring program vaksinasi COVID-19 yang hampir mencapai 100 persen serta bed occupancy rate (BOR) di rumah sakit yang hanya mencapai enam persen. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.)