Berkat Formula Carina

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Minggu, 31 Oktober 2021 | 09:59 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 343


Jakarta, InfoPublik - Dia punya mimpi besar. Yakni, menjadi pemimpin perusahaan farmasi skala global yang bisa punya andil pada kemanusiaan.

Perempuan Indonesia itu bernama lengkap Carina Citra Dewi Joe. Mewakili tim, Carina menerima penghargaan Pride of Britain di London Sabtu malam (31/10/2021). Carina merupakan salah satu ilmuwan yang terlibat dalam pengembangan utama vaksin AstraZeneca yang dikembangkan Universitas Oxford, Inggris.

Carina adalah mahasiswa post doctoral di Jenner Institute Universitas Oxford. Dalam pengembangan vaksin AstraZeneca (AZ) itu, Carina menemukan formula untuk produksi massal vaksin dengan hasil 10 kali lebih banyak.

Carina menemukan formula dengan menggunakan 30 mililiter sel atau dua sendok makan. Berkat temuan formula Carina itu, vaksin memungkinkan diproduksi 1,5 miliar dosis.

Formula itu ia temukan pada 15 Januari 2020, atau setelah tiga bulan virus corona mewabah di Wuhan, Cina. Berkat formula itu, Carina menjadi salah satu ilmuwan pemegang hak paten vaksin AstraZeneca.

"Saya tidak sangka saja, dari eksperimen 30 mililiter atau dua sendok makan sel, bisa menghasilkan vaksin lebih dari satu miliar dosis dan dengan target tiga miliar dosis [pada akhir tahun] untuk suplai ke seluruh dunia," ujar Carina.

Ketua tim manufaktur, Dr Sandy Douglas menyebut timnya sangat kecil bila dibandingkan dengan perusahaan farmasi besar lain. "Saya sangat khawatir bagaimana bila Carina terkena virus corona? Akan terjadi bencana kalau itu terjadi karena kami perlu dia tetap bekerja," kata Sandy mengenang periode kerja keras selama 18 bulan.

Produksi vaksin dalam skala besar dalam waktu singkat ini tercatat pertama kali terjadi dalam pandemi COVID-19. Biasanya produksi vaksin memakan waktu setidaknya 10 tahun.

Alumni SMAK 1 BPK Penabur Jakarta yang memperoleh gelar doktoral dalam bidang bioteknologi di Royal Melbourne Insitute Australia itu menjadi lead scientist di laboratorium yang melakukan upscaling bibit vaksin untuk kebutuhan uji klinis maupun komersialisasi.

Carina bercerita, keterlibatannya dalam produksi vaksin AstraZeneca itu tak lama setelah corona mewabah di Wuhan. Saat itu, proyek yang diserahkan kepadanya adalah optimasi manufaktur vaksin rabies untuk persiapan uji klinis di Inggris Raya dan Tanzania.

Lalu, tiba-tiba pandemi COVID-19 muncul. Dia ditawari terlibat dalam proyek vaksin AstraZeneca pada Agustus 2019 dan memulai eksperimennya pada sekitar akhir September.

Tawaran itu tak lepas dari pengalaman Carina pernah magang di sebuah perusahaan besar Australia selama tujuh tahun. Perusahaan itu pula yang memboyong Carina ke Australia setelah dia lulus S-1 di Hongkong.

Pengalamannya selama tujuh tahun di bidang lab-scale manufacture, juga sebagai sebagai post-doc di laboratorium CSIRO, Australia, mendukung kepercayaan yang diberikan kepadanya itu.

“Awalnya masih saya dikerjakan sendiri tapi karena deadline mepet dan pekerjaannya banyak, akhirnya kami minta bantuan grup ilmuwan lain yang punya skill yang mirip-mirip,” kata Carina.

Dalam grup itu, Carina menjadi lead scientist di laboratorium. Dia dibantu research assistant. Di atasnya ada ilmuwan yang menjadi project manager dan group leader. Di luar itu, ada magang post-doc juga yang diperbantukan dari grup lain.

Dia bersama timnya bekejaran dengan waktu. Mereka bekerja keras untuk memastikan vaksin COVID-19 yang ditemukan bisa diproduksi dalam skala besar. Mereka bekerja nonstop. Tujuh hari dalam seminggu. Lebih dari 12 jam sehari.

"Tanpa libur, tanpa istirahat. Supaya vaksin bisa digunakan di seluruh dunia,” kata Carina.

Setelah formula itu ditemukan, pada tahun ini vaksin iAstraZeneca pun mulai diproduksi massal.

Berkat formula yang ditemukan Carina, vaksin AstraZeneca sudah didistribusikan ke 177 negara, termasuk Indonesia. (*)