Jangan Abaikan Limbah Medis!

:


Oleh Fajar Wahyu Hermawan, Kamis, 2 September 2021 | 13:06 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 645


Jakarta, InfoPublik - Rosan (52 tahun) terkejut. Saat ia memungut botol bekas air mineral di TPA Jalupang, Cikampek, Jawa Barat, ia menemukan banyak sekali bekas jarum suntik, masker, dan sarung tangan bercampur dengan sampah lainnya. Limbah-limbah medis bercecer di TPA itu.

Limbah medis atau yang kita kenal dengan istilah B3 itu diduga berasal dari sebuah rumah sakit di Karawang, Jawa Barat. "Dibuang setiap hari Rabu dan Sabtu, menggunakan mobil sampah," kata Rosan Kamis, (13/2/2020).

Sejak awal pandemi melanda, persoalan limbah medis memang menjadi persoalan tersendiri. Tak hanya di Indonesia tapi juga negara lainnya.

Pembuangan limbah medis (B3) secara serampangan ini sempat menjadi sorotan dan mengundang protes. Polisi akhirnya turun tangan dengan memasang garis polisi di antara tumpukan sampah medis tersebut.

Pengelolaan limbah B3 selama masa pandemi COVID-19 memang sempat menjadi sorotan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, persoalan limbah medis bahan berbahaya beracun (B3) yang dihasilkan selama pandemi harus segera ditangani. Sampah-sampah medis itu memang menumpuk.

Sampah-sampah medis itu memang menumpuk. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak Maret 2020 hingga Agustus 2021 jumlah limbah medis telah mencapai 20.110,585 ton per kubik.

Limbah medis tersebut merupakan akumulasi dari sampah-sampah yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, pusat isolasi mandiri, vaksinasi COVID-19, pusat uji deteksi COVID-19, serta yang berasal dari rumah tangga.

"Penumpukannya begitu tinggi, tumpukan sampahnya itu naik signifikan, ini jujur saja di luar perkiraan. Siapa yang menyangka dengan adanya COVID-19 ini limbah B3 jadi naik semua," kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam dalam diskusi virtual, akhir Agustus lalu.

Kondisi tersebut membuat Indonesia kelabakan. Sebab, kata Medrilzam, fasilitas pengelolaan limbah B3 di Indonesia masih terbatas.

Berdasarkan data KLHK per 9 Agustus 2021, hanya ada 122 rumah sakit yang memiliki incinerator atau alat pengelolaan limbah yang berizin. Sementara sebanyak 112 rumah sakit yang diketahui memiliki incinerator namun tidak berizin.

Sementara jasa pengolahan limbah B3 di Indonesia baru ada 42 unit. Dukungan KLHK dan Major Project limbah medis B3, kata Medrilzam, juga hanya ada 6 unit. "Itu pun lebih banyak di Pulau Jawa dan Sumatera. Sedangkan untuk Indonesia wilayah Timur itu sedikit sekali," ujar Medrilzam.

Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pemerintah akan bekerjasama dengan pabrik semen sebagai salah satu upaya memusnahkan limbah B3 medis. "Pemerintah memandang persoalan darurat yang harus segera ditangani yaitu timbulan limbah medis yang dihasilkan selama masa pandemi Covid-19 ini," ujar Luhut, Selasa (3/8/2021).

Dalam rapat terbatas Juli 2021, Presiden Joko Widodo juga telah meminta jajarannya memberikan perhatian kepada pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) medis COVID-19 secara sistematis.

“Dana yang diproyeksikan untuk diolah sebesar R p1,3 triliun, yang diminta Presiden untuk di-exercise untuk membuat sarana-sarana insinerator dan sebagainya,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Rabu (28/07/2021).

Berdasar Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup Nomor SE.3/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2021 disebutkan jenis dan sumber limbah ini. Dari aspek jenis, limbah B3 COVID-19 ini berasal dari penanganan COVID-19 termasuk perawatan pasien konfirmasi COVID-19, produk farmasi, serta limbah yang dihasilkan dari uji sampel dan vaksinasi COVID-19.

Limbah yang dihasilkan dari penanganan pasien konfirmasi COVID-19 berupa limbah klinis yang memiliki karakteristik infeksius, seperti masker bekas, gaun medis, sarung tangan medis, pelindung kepala, pelindung sepatu, pelindung mata, serta pelindung wajah. Sementara limbah yang dihasilkan dari uji sampel dan vaksinasi Covid-19 meliputi peralatan uji sampel, seperti kapas, tabung alat swab, papan uji reaksi, dan pipet sekali pakai, serta kemasan produk farmasi.

Limbah medis pasien COVID-19 perlu diolah dengan tepat, sebab ada durasi cukup lama untuk virus menempel di permukaan benda dan menyebabkan infeksi. Penumpukan dan pengelolaan yang tidak tepat hanya akan membuka celah penularan melalui medium limbah. Apalagi, saat terjadi kenaikan kasus infeksi dan perawatan yang masif, dibutuhkan pengolahan yang cepat.

Menurut peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Ratih Asmana Ningrum juga mengungkapkan bahwa virus SARS-CoV-2 dapat bertahan dalam waktu yang lama pada permukaan benda. Lamanya virus bertahan hidup tergantung kepada jenis material permukaan benda.

"Masker bedah di bagian dalam itu ternyata (bertahan) tujuh hari dan di bagian luarnya ternyata lebih dari tujuh hari stabilitas virusnya. Setelah tujuh hari dia masih aktif,” kata Ratih, Selasa (16/02/2021).

Sementara untuk alat pelindung diri itu stabilitas virus bisa bertahan lebih lama. "Untuk masker N95 bisa sampai 21 hari,” kata Ratih.

Untuk mengatasi menumpuknya limbah B3 ini, LIPI menawarkan metode daur ulang yang mudah dan efektif, serta memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan metode daur ulang lain.

Sekretaris Utama LIPI Nur Tri Aries Suestiningtyas saat ini LIPI telah memiliki teknologi yang dapat digunakan untuk pengelolaan limbah, sterilisasi, insinerator, dan daur ulang limbah medis yang jumlahnya semakin meningkat di masa pandemi COVID-19.

Metode yang dikembangkan sepanjang 2020 itu adalah metode rekristalisasi. Metode rekristalisasi dapat diterapkan untuk berbagai jenis plastik bahan baku APD seperti polipropilena, polietilena, polistirena, maupun polivinil klorida.

Peneliti Pusat Penelitian Kimia LIPI Sunit Hendrana menyebut, metode yang dimiliki LIPI itu punya sejumlah keunggulan, salah satunya memungkinkan terjadinya degradasi yang sangat rendah karena tidak adanya shear dan stress seperti pada daur ulang biasa.

"Sangat mungkin diperoleh suatu plastik murni tanpa degradasi yang dapat digunakan lagi sebagai plastik untuk tujuan medis dengan kualitas yang serupa,” ujar Sunit.

Sunit menjelaskan keunggulan lainnya adalah metode ini mengonsumsi energi yang lebih rendah karena "mekanisnya jauh lebih sedikit dari metode yang lain.”

Tahapan-tahapan metode rekristalisasi ini meliputi pemotongan plastik bila diperlukan, pelarutan plastik, pencampuran dengan antipelarut, pengendapan, dan pemisahan pelarut dan antipelarut.

"Prinsip dasar dari metode ini adalah sifat kelarutan, bahwa plastik itu larut dalam pelarut tertentu. Ini yang bisa kita manipulasi sehingga bisa mengkristal dalam bentuk larutan dan dijadikan serbuk,” kata peneliti dari kelompok penelitian kimia makromolekular ini.

Sunit berharap metode rekristalisasi dapat diterapkan dan berguna dalam menyelesaikan masalah sampah medis akibat pandemi yang tengah terjadi.(*)

(Petugas memindahkan kantong yang berisi limbah medis yang berbahan berbahaya dan beracun (B3) di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Selasa (17/8/2021). Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan perlunya tindakan yang cepat dan tepat terkait pengelolaan limbah medis COVID-19 yang mencakup Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang pada Juli 2021 terdapat peningkatan mencapai 18 juta ton. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.)