Begini Rasanya Merawat Hingga Antar Pasien Terpapar Virus

:


Oleh Kristantyo Wisnubroto, Selasa, 21 April 2020 | 19:18 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 613


Jakarta, InfoPublik - Penyebaran penyakit akibat virus SARS-CoV-2 masih terus terjadi di Tanah Air. Penanganan mereka yang terpapar memicu tingkat risiko tenaga medis, baik dokter maupun perawat.

Berikut kisah para pejuang kemanusiaan di tengah pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). Mulai dari perawat RS rujukan, relawan medis hingga sopir ambulans.

Salah satunya, Nurdiansyah, seorang perawat berbagi pesan dan pengalamannya kepada publik.

Nurdiansyah yang bekerja di Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta menyampaikan harapan kepada semua pihak, pemerintah dan masyarakat untuk melakukan pencegahan. Menurutnya, satu-satunya upaya melawan Covid-19 dengan pencegahan dengan masyarakat sebagai garda terdepannya.

"Kami, perawat, tenaga kesehatan, ada di lini paling belakang, ketika sudah terpaksa terinfeksi, karena memang kita sudah melakukan pencegahan dengan ketat tapi masih terinfeksi. Tolong lakukan pencegahan. Satu-satunya solusi Covid-19 adalah pencegahan. Jadilah garda terdepan, karena garda terdepan adalah masyarakat yang artinya kita semua," ajak Nurdiansyah saat berbagi pengalamannya di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Minggu (19/04/2020).

Di kesempatan itu, ia juga meminta agar teman-temannya sesama perawat mendapatkan alat perlindungan diri (APD) saat bekerja. Selama menangani pasien di rumah sakit, banyak teman-teman perawat yang positif tertular. Saat bekerja, ia dan teman-teman lain sempat mengenakan pita hitam tanda berduka cita.

Nurdiansyah yang juga pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Jakarta Utara mengharapkan pemerintah terus menjamin APD terstandar selalu tersedia bagi tenaga medis saat mengobati dan merawat pasien Covid-19.

Pria yang tadinya bekerja untuk pasien HIV/AIDS menyampaikan ia dan teman lainnya telah bekerja keras dari pagi hingga malam. Istirahat yang cukup sangat dibutuhkan oleh perawat, harap Nurdiansyah.

"Jadi kalau bisa pada pemerintah harapannya ada waktu memang kita bekerja tidak seperti biasa, misalnya 14 hari masuk, 14 hari libur," katanya.

Seperti diketahui, seluruh petugas medis dikategorikan Orang Dalam Pemantauan (ODP) karena kontak amat dekat dengan terduga terinfeksi virus corona atau Pasien Dalam Perawatan (PDP). Menurut protokol, ODP masuk isolasi mandiri 14 hari. Pola kerja 14 kerja, 14 hari ini muskil dilakukan oleh mereka yang sedang dibutuhkan di hari-hari krusial seperti pandemi begini.

Selama berjibaku menangani pasien infeksi virus corona, para tenaga medis di RS rujukan mendapatkan penginapan layak sebagai tempat transit atau beristirahat. Mulai di Tower Wisma Atlet, hotel bintang 4 sekitar Jakarta Pusat dan Timur. Penginapan tersebut disediakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Nurdiansyah berkisah sebagai perawat di RSPI Sulianti Saroso yang memang khusus menangani penyakit infeksi cara memakai APD yang tepat harus sesuai protokol Kemenkes dan WHO.

"APD yang lengkap ini dari atas sampai dengan bawah. Jadi, betul-betul harus tertutup," jelasnya.

Dari ujung kepala sampai ujung kaki APD harus dipakai sesuai dengan standar keamanan tinggi agar terhindar dari virus corona. Mulai dari penutup kepala menggenakan masker N95 dan kacamata pelindung (googles), perisai wajah (face shield) hingga pakaian hazmat serta sarung tangan medis (medical gloves). Berjam-jam mengenakan itu. Berat dan rasanya pengap. Pun, ketika makan, minum hingga beribadah tetap memakai gaun medis tersebut.

Proses merawat pasien terpapar Covid-19 di RSPI Sulianto Saroso memakai kamera pemantau. Di setiap kamar pasien dilengkapi dengan fasilitas tersebut. Semua komunikasi lewat monitor ketika ada kebutuhan atau tindakan medis maka petugas medis baru masuk ruang isolasi pasien.

Merawat pasien Covid-19 bukan hal gampang. Sedikitnya diperlukan waktu satu jam bahkan sampai empat jam untuk menangani pasien corona yang dirawat di RS rujukan.

"Ketika kita sampai ruangan pasien, waktu yang dibutuhkan menangani pasien tergantung tindakan. Satu pasien bahkan bisa 1 jam. Misalnya ada pemeriksaan jantung atau pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), ini perawatan yang kita beri ke pasien paling cepat 30 menit," kata Nurdiansyah.

Tugas para perawat tidak hanya melakukan pemeriksaan fisik rutin tapi juga menyediakan kebutuhan pasien bahkan harus bersedia menemani mendukung mental pasien.

Meningkatnya jumlah PDP dan pasien positif Covid-19 membuat situasi berubah, jika sebelumnya dalam satu ruangan dibutuhkan dua sampai tiga perawat saat ini satu perawat harus menangani dua sampai tiga orang pasien.

Oleh karena itu, berkaca pada keadaan di lapangan Nurdiandyah berharap bantuan APD bagi tenaga medis khususnya perawat yang secara rutin menangani pasien untuk berinteraksi semakin dipermudah dan diperbanyak.

"Saat ini teman-teman kami sudah banyak yang terinfeksi. Sudah banyak yang positif dan mulai dirawat. Jadi ini memang bulan yang sangat sedih. Mungkin tertular karena ketidakjujuran (pasien), mungkin tertular saat berkativitas di luar, jadi memang angka-angka yang bertambah semakin banyak dan ini menjadi bulan yang penuh duka," imbuh Nurdiansyah.

Sebelum kasus Covid-19 muncul, para perawat RSPI Sulianti Saroso sudah menangani pasien dengan penyakit wabah MERS-Cov, flu burung, dan difteri, yang mana cara penanganan dan penyembuhannya sama. Pelatihan sudah dilakukan pada Desember 2019 sebagai upaya menyegarkan kembali paramedis khusus penyakit infeksi dan menular.

Nurdiansyah bersaksi bahwa setelah COVID-19 terdeteksi di Indonesia, semua ruangan di rumah sakit tersebut berubah menjadi ruangan isolasi.

"Di awal Maret, kita dibagi beberapa ruangan. Akhirnya saya masuk ke menangani pasien Covid-19, karena memang sudah menjadi rujukan pasien Covid-19," ujar dia.

Pasien Tidak Jujur

Banyaknya kasus perawat atau dokter yang terinfeksi Covid-19 dipicu oleh beberapa faktor salah satunya ialah ketidakjujuran pasien ketika berobat atau saat ditanya perihal kronologi penyakitnya. Padahal keterbukaan pasien menjadi kunci bahwa Covid-19 dapat disembuhkan dan penularan dapat dicegah.

"Sudah mulai banyak kasus-kasus yang terjadi dengan kita. Beberapa teman ada yang dirawat. Teman-teman yang tertular dari pasien. Ada yang tertular karena mungkin ketidakjujuran (pasien). Bulan ini kita penuh duka, angka positif dari teman-teman kita semakin banyak, yang meninggal juga," ungkap Nurdiansyah.

Lebih dari itu, Nurdiansyah juga berkisah tentang apa yang sudah dialami oleh rekan-rekannya tentang stigma negatif tenaga medis, khususnya di lingkungan tempat tinggalnya. Mulai dari diusir hingga anggota keluarganya diasingkan dan dikucilkan oleh tetangga.


Kisah Relawan

Pengalaman para relawan medis tak kalah menariknya. Sri Agustin Tabara, Mahasiswa Magister Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) dan Sofina Izzah, Mahasiswa Program Profesi Ners FIK UI adalah dua dari 105 mahasiswa FIK UI yang terjun langsung menjadi relawan menangani pasien COVID-19 di sejumlah rumah sakit, salah satunya Rumah Sakit UI (RSUI), Depok.

Sri menuturkan, dirinya mendapatkan diri sebagai relawan dan mendaftarkan diri secara kolektif melalui Pusat Krisis FIK UI. Ketika ditanyakan cara ia mengatur jadwal antara menjadi relawan dan mahasiswa yang tengah menjalani Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Sri menuturkan, "Sejauh ini saya belum mengalami kendala berarti, saat harus berkuliah sambil menjadi relawan. FIK UI membebastugaskan mahasiswa berpartisipasi dalam kuliah online saat menjadi relawan, namun untuk tugas-tugas tetap dapat saya kerjakan di saat free."

Dalam seminggu, Sri bekerja selama 5-6 hari kerja di mana per harinya menjalani satu shif. Shif kerja terbagi dalam tiga yaitu, shif pagi dan shif siang masing-masing sebanyak 7 jam, dan shift malam sebanyak 12 jam.

Sri, yang telah bergabung menjadi relawan sejak 6 April 2020, ditempatkan di Ruang Intensive Care Unit (ICU) Covid-19 yang langsung berhadapan dengan pasien. Tugas Sri saat ini menjadi rekan kerja para perawat RSUI dalam memberikan perhatian kepada pasien dan membantu memenuhi segala kebutuhan pasien. Bagi Sri, pengalaman paling berkesan selama bekerja sebagai relawan adalah melihat keadaan umum pasien yang semakin hari semakin baik.

Kisah Sofina tidak jauh berbeda dari Sri. Ia mendaftarkan diri sebagai relawan ketika mengetahui RSUI membuka panggilan sebagai relawan medis. Ia sudah bertugas sebagai relawan perawat di ICU RSUI sejak 1 April 2020. Sofina menganggap menjadi perawat dalam masa pandemi ini adalah sebuah tindakan heroik bagi bangsa.

"Tidak ada kekhawatiran dalam menangani pasien Covid-19, mengingat kami telah diperlengkapi APD. Setiap harinya selama 6 hari kerja, saya memperoleh shif kerja sebanyak delapan jam, dengan pembagian, sebanyak empat jam pertama saya bertugas di ruangan isolasi merawat pasien dengan APD lengkap, lalu setelah itu saya melepas APD, mandi, makan lalu melanjutkan sisa waktu yang ada untuk membantu tindakan yang bersifat administratif seperti laporan pasien bersama para perawat RSUI."

RSUI merupakan rumah sakit yang didedikasikan untuk menangani pasien Covid-19 khususnya di wilayah Kota Depok dan sekitarnya.

Satu lagi kisah dari Ika Dewi Maharani, satu-satunya sukarelawan medis perempuan di bawah naungan Relawan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Ia bertugas sebagai sopir ambulans.

Angka kasus Covid-19 di Jakarta yang semakin meningkat, ditambah dengan jumlah petugas ambulans yang kurang memadai, membuat membulatkan tekat Ika menjadi sopir ambulans.

"Dengan keahlian yang saya miliki, saya bisa menyetir, saya basic perawat, jadi pas saya sesuai dengan panggilan hati, dengan kemampuan yang saya punya, saya harus melayani," ujar Ika di Graha BNPB, Jakarta, Kamis (16/04/2020).

Tergabung dalam sebuah asosiasi profesi perawat Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia (Hipgabi), Ika berasal dari Maluku Utara, namun berkuliah di Surabaya, saat ini menjalani hidup di mess yang disediakan BNPB. Ia bertugas di rumah sakit Universitas Indonesia, Depok.

Menangani pasien di rumah sakit menjadi hal biasa bagi Ika, namun mengantarkan pasien ke rumah sakit menjadi persoalan lain. Dia mengaku menjadi supir ambulans merupakan pengalaman pertama dalam hidupnya.

"Sudah bunyikan sirine, tapi kadang orang-orang di sekitar kita tidak peka untuk memberikan jalan buat kita karena kita mengangkut pasien, ya untung ada orang dengan kesadaran memberikan jalan, jadi kita tetap dengan cepat membawa pasien ke tempat yang dirujuk," ungkapnya.

Mengemban tugas untuk mengantarkan pasien dalam pengawasan (PDP) atau pun pasien positif corona membuat Ika berisiko besar terinfeksi virus corona.

Dalam menjalankan tugasnya itu, Ika Dewi mengatakan "safety" adalah kunci utama. Menggunakan APD menjadi wajib bagi Ika sebelum berangkat bertugas. Tidak hanya agar dirinya aman, tetap juga agar para pasien tetap aman.

Meski telah mengenakan APD, sebagai manusia biasa, Ika mengaku perasaan takut ada dalam dirinya, namun semangat kemanusiaan yang dia rasakan jauh lebih tinggi.

Untuk menjaga imunitas tubuh sebagai cara untuk melawan virus corona, di tengah shif 12 jam yang dia jalani, Ika selalu menyempatkan diri untuk makan teratur dan istirahat yang cukup.

Baik Nurdiansyah, Sri, Sofina dan Ika Wati berharap pandemi virus corona segera berakhir. Kuncinya seluruh masyarakat sadar melakukan pencegahan dengan mematuhi protokol kesehatan serta saling bergotong royong. Sudah terlambat ketika kita sudah terpapar virus. Mencegah lebih baik daripada mengobati adalah pameo klasik yang tak boleh dilanggar. (bnpb/UI/Foto: Humas UI)