USBN Hilang, Kualitas Guru Terbilang

:


Oleh Kristantyo Wisnubroto, Rabu, 5 Februari 2020 | 15:58 WIB - Redaktur: DT Waluyo - 1K


Jakarta, InfoPublik - Ingat Ebtanas atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional? Bagi mantan pelajar generasi yang lahir ditahun 1980-an atau 1990-an pasti menjadi kenangan yang indah. Kala itu, begitu usai ujian dan dinyatakan lulus, banyak kisah yang ditorehkan para siswa SMP atau SMA masa itu. Yang sering dikenang adalah mengekspresikan kegembiraan dengan cara keliling kota naik sepeda motor atau corat-coret seragam.

Sistem Ebtanas ini bertahan hingga tahun 2002. Mulai tahun 2002 ini siswa dinyatakan lulus setelahmengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Namun sistem ini, tidak bertahan sampai tiga tahun. Namanya diubah menjadi Ujian Nasional (UN). Meski begitu, ekspresi siswa yang lulus masih sama; bergembira keliling kota, sembari corat-coret cat di baju sekolah.

Mulai tahun 2020 ini, sistem Ujian Nasional (UN) diubah formatnya, tidak lagi sekadar soal-soal pilihan ganda dan menuruti silabus Kurikulum melainkan kelak berbentuk Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter siswa. Sesuai esensi dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), penilaian kelulusan siswa/peserta didik ke jenjang pendidikan selanjutnya dikembalikan kepada guru. UN tidak lagi jadi satu-satunya acuan penilaian siswa.

Akselerasi penghapusan UN ini bergulir sejak pendiri Gojek, Nadiem Anwar Makarim menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) di Kabinet Indonesia Maju. Penghapusan USBN dan UN merupakan bagian dari gagasan "Merdeka Belajar" yang diungkap Menteri Nadiem. Apa itu "Merdeka Belajar"? Ada empat pokok kebijakan pendidikan "Merdeka Belajar" meliputi, perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.

Menyangkut USBN (dulu namanya EBTA/Evaluasi Belajar Tahap Akhir), kewenangan kelulusan siswa dan pembuatan soal diserahkan sepenuhnya pada sekolah. Sedangkan untuk UN diubah formatnya mulai tahun 2021, tidak lagi mengujikan konten melainkan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Sedangkan untuk RPP, hanya cukup satu halaman. Guru tidak perlu lagi menyiapkan RPP yang berlembar-lembar. Kemendikbud juga meningkatkan kuota jalur prestasi/non akademik pada PPDB zonasi dari sebelumnya 15 persen menjadi 30 persen.

Semangat dari perubahan ujian siswa dasar dan menengah ini adalah mengembalikan ruh atau esensi dari UU Sisdiknas dan Kurikulum 2013. Mengacu Bab XVI tentang Evaluasi, Akreditasi, dan Sertifikasi di UU 20/2003 tentang Sisdiknas pada Pasal 58 tertulis, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ini berarti evaluasi atau penilaian hasil belajar siswa dilakukan oleh guru di sekolah terkait.

Dari pengamatan Mendikbud Nadiem, saat ini yang terjadi adalah, dengan adanya USBN semangat kemerdekaan sekolah dalam menentukan penilaian yang tepat untuk siswa menjadi tidak optimal, karena anak-anak harus mengerjakan soal yang berstandar. Sementara soal-soal tersebut kebanyakan berbentuk pilihan ganda yang formatnya hampir sama dengan ujian nasional (UN). Para murid di Indonesia cenderung cuma merapal hafalan soal ujian selama ini. Tak mengherankan, bimbingan belajar atau les privat untuk siswa SD/SMP/SMA agar lulus UN tumbuh subur di mana-mana.

"Kurikulum 2013 sebenarnya semangatnya adalah kurikulum berdasarkan kompetensi. Nah, kompetensi dasar yang ada di Kurikulum 2013 sebenarnya sangat sulit jika hanya dites dengan pilihan ganda, karena tidak cukup untuk mengetahui berbagai kompetensi," tutur Mendikbud Nadiem Makarim.

Kendati mulai tahun 2020 USBN ditiadakan, Kemendikbud masih menoleransi bagi sekolah yang belum siap mengubah tes kelulusannya. Mereka diperbolehkan tetap menyelenggarakan tes kelulusan seperti USBN pada tahun lalu.

Model USBN yang baru berbasis Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut menciptakan kesempatan bagi guru dan sekolah untuk menilai hal lain yang selama ini cuma berkutat soal pilihan ganda. Dengan begitu, sekolah bisa melakukan penilaian terhadap siswa melalui bentuk lain seperti esai, portofolio, dan penugasan lain seperti tugas kelompok, karya tulis, dan lain-lain.

"Kita ingin memberikan kemerdekaan bagi guru penggerak di seluruh Indonesia untuk menciptakan konsep-konsep penilaian yang lebih holistik yang benar-benar menguji kompetensi dasar kurikulum kita, bukan hanya pengetahuan atau hafalan saja," ungkao Menteri Nadiem.

Bagi pemerintah daerah yang sudah mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan USBN di tahun 2020, anggaran tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan kapasitas guru dan kualitas pembelajaran. UN model baru dan kesiapan sekolah menggelar penilaian mandiri diharapkan berlaku penuh dari jenjang SD-SMP-SMA dan sederajat mulai tahun 2021.

Oleh karena itu, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah merevisi Prosedur Operasional Standar (POS) Ujian Nasional (UN) Tahun 2019/2020. Hasil revisi tersebut tercantum dalam Peraturan BSNP Nomor 0053/P/BSNP/I/2020. Menurut peraturan ini, POS UN Tahun Pelajaran 2019/2020 yang terdapat pada peraturan Nomor 0051/O/BSNP/I/2019 sudah tidak berlaku, dan BSNP tidak lagi menerbitkan POS Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).

Dalam merevisi POS UN ini, BSNP mengacu pada Permendikbud Nomor 43 Tahun 2019, tentang Penyelenggaraan UN dan Ujian yang Diselenggarakan Satuan Pendidikan. "Sesuai dengan Permendikbud 43 Tahun 2019, USBN ditiadakan maka POS USBN menjadi tidak diperlukan," kata Ketua BSNP Abdul Mu'ti, Januari 2020.

PISA dan Kualitas Pendidikan

Peningkatan kualitas peserta didik juga menjadi perhatian pemerintah, selama ini, penentuan standar nilai untuk kelulusan semua mata pelajaran bagi siswa sekolah dasar dan menengah tersebut disamaratakan. Dari tahun 2009 standar rata-rata minimal yang ditentukan 5,5. Dengan nilai minimal 4.

Akumulasi rata-rata nilai UN sejak 2015 hingga tahun ini hanya 52,43. Sementara jika dilihat trennya, UN selama lima tahun cenderung turun. Hanya pada 2019 mengalami kenaikan sebesar 1,4% dari 48,35 menjadi 49,05. Penurunan tertinggi terjadi pada tahun 2017, yaitu sebesar 9,1%, dari 55,26 pada 2016 menjadi 50,25.

Menyikapi hal ini, Kemendikbud mengganti pola penilaian UN dengan Assesmen Kompetensi Minimum plus Survei Karakter yang sejalan dengan Programme for International Student Assessment (PISA). Format assesmen PISA menitikberatkan pada literasi, numerasi dan survei karakter.

Hasil studi PISA 2018 yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD mencapai 487.

Adapun untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489. Hasil ini menunjukkan tingkat literasi dan numerasi rata-rata siswa dasar/menengah di Indonesia masih rendah.

Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa hasil studi PISA 2018 yang dirilis serentak 3 Desember 2019, merupakan perspektif yang bagus bagi pemajuan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui perspektif yang berbeda, Indonesia diajak untuk melihat bagaimana orang lain, negara lain melihat sistem pendidikan di Indonesia, sekaligus memberi masukan obyektif tentang perbaikan yang perlu dilakukan ke depan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno menjelaskan hasil PISA tidak hanya sekadar skor dan ranking. Hasil studi PISA menjabarkan perilaku anak, kondisi belajar anak, latar belakang anak, cara mengajar guru, dan seterusnya.

Totok mengapreasiasi hasil studi PISA yang menunjukkan fakta bahwa siswa kurang beruntung secara ekonomi di Indonesia tetap bisa berprestasi. Begitu pula capaian pemerataan fasilitas pendidikan dan akses pendidikan yang membaik dalam 18 tahun terakhir.

Di sisi lain, pemerintah tetap berkomitmen untuk mengatasi kelemahan yang menjadi temuan PISA seperti kelemahan siswa Indonesia dalam memahami literasi dan numerasi. Maka, salah satu rekomendasi yang diberikan adalah pengoptimalan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) perlu dimanfaatkan untuk pembelajaran yang lebih efektif. Membuat kultur belajar mengajar menjadi sebuah kebutuhan dan hal menyenangkan.

Dari perspektif itulah, Pemerintah memformulasikan langkah strategis. Utamanya dalam upaya mewujudkan pemerataan pendidikan.

Ketimpangan kualitas pendidikan, menurut Mendikbud karena berkumpulnya sumber daya, khususnya guru-guru yang bagus di sekolah tertentu. Selain itu, siswa di sekolah tersebut berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang bagus juga.

"PR kita adalah pemerataan jumlah guru, mutu guru, dan resources," ucap Nadiem Anwar Makarim.

Dengan model penilaian kelulusan siswa dasar dan menengah yang lebih komprehensif, Mendikbud berharap mampu mengangkat kualitas siswa sekaligus merangsang kalangan guru untuk lebih kreatif mengajar. Pemahaman literasi dan numerasi anak bangsa yang lebih baik menjadi kunci daya saing Indonesia di tengah disrupsi digital serta "volatilitas" ekonomi global.(wis)