Memperindah Keindahan Dunia Melalui Forum Budaya Semesa

:


Oleh Irvina Falah, Kamis, 13 Oktober 2016 | 14:35 WIB - Redaktur: Irvina Falah - 327


Bali - Pertunjukan tari kolaborasi yang disajikan para peserta International Folk Dance Festival (IFDF) beserta sejumlah seniman lokal seperti Ayu Laksmi, sukses ‘menyihir’para peserta World Culture Forum (2016), saat mengakhiri gala dinner di Plenary Hall, Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Nusa Dua. Tarian yang diberi nama “Hamemayu Hayuning Buwana” ini adalah tarian hasil kreasi anak Bangsa, Bimo Wiwohatmo. 

Hamemayu Hayuning Buwana adalah nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa. Kata ini memiliki makna “Untuk memperindah keindahan dunia”, yang juga berarti upaya melindungi keselamatan dunia lahir dan batin. Nilai luhur inilah yang ingin dibagikan Indonesia selaku tuan rumah WCF 2016 kepada masyarakat dunia melalui forum budaya dunia tersebut. 

Lebih dari 1500 orang terlibat dalam forum budaya terbesar di dunia ini sejak 4 Oktober melalui penyelenggaraan International Youth Forum (IYF), dan simposium-simposium budaya. Selama dua hari peserta dari seluruh negara saling bertukar pikiran, pendapat, dan usulan melalui ruang-ruang simposium yang mengangkat isu penting dalam pembangunan di dunia yang berkelanjutan. 

Simposium satu menyoroti bagaimana budaya menjadi penjaga alam dan desa dari segala kerusakan yang mengancam keberlangsungannya. “Kami menentang ekonomi yang merusak alam. Merusak alam berarti merusak tradisi. Kami sudah berjanji bahwa kami hanya menjual yang dapat kami buat,” ungkap Aleta Baun, salah satu pembicara pada pertemuan tersebut. 

Simposium dua membicarakan tentang air untuk kehidupan yang mengikat struktur sosial kehidupan sehari-hari. Pada simposium ini pembicara menjabarkan bagaimana air dalam kaitannya dengan kehidupan manusia dan kaitannya dengan budaya adat setempat. 

Simposium tiga membahas Menjalin Sejarah, Ruang Kota, dan Gerakan Budaya. Pada simposium ini didiskusikan pentingnya integrasi sejarah dan budaya untuk pembangunan berkelanjutan. Salah seorang pembicara, Shahbaz Khan, menegaskan jika budaya bukanlah tentang monumen semata, yang berfungsi sebagai tautan kepada sejarah dan budaya. Namun esensinya adalah kearifan lokal di dalamnya. Maka dari itu, kita harus bersyukur karena hidup di planet yang indah ini. “Karean itulah bumi harus inklusif untuk semua orang, “ungkat Shahbaz. 

Simposium empat mengangkat tema”Kebudayaan dalam Dunia Digital Baru”. Teknologi sebagai cara baru dalam memperlakukan kebudayaan menjadi pokok dari ulasan keempat pembicara. Kebudayaan dapat dilihat dengan perspektif lain dengan dukungan teknologi, bukan lagi sesuatu yang kuno dan kaku tapi bisa menjadi sesuatu yang menarik. 

Simposium lima membahas isu-isu pembangunan yang berkaitan dengan hubungan negara, masyarakat dan budaya. Di akhir forum disimpulkan isu kebudayaan yang harus diperhatikan demi terwujudnya pembangunan; pentingnya solidaritas, pemaknaan kearifan lokal, merubah perspektif tentang golongan yag termarjinalkan, menghilangkan budaya perang, serta membangun hubungan dan dialog. 

Simposium enam bertemakan Keragaman Budaya untuk Pembangunan Yang Bertanggungjawab. Para pembicara yang hadir dalam simposium ini adalah para ahli yang memahami bidang tersebut. Simposium ini berdiskusi mengenai isu-isu keragaman budaya yang semakin menjadi kondisi nyata di banyak tempat. 

Selain simposium, terjalin pula kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara lain seperti Selandia Baru dan Republik Islam Iran. Apabila perjanjian kerjasama dengan Selandia Baru berisikan tentang pengiriman pegiat budaya ke Selandia Baru, maka pertemuan dengan Republik Islam Iran menghasilkan harapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, agar terjadi kerjasama dalam pertukaran siswa, riset bersama, mengembangkan perpustakaan dan bidang lainnya. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir berpesan dengan adanya Sustainable Development Goals agar menjunjung kebudayaan. “Sekaranglah waktunya untuk bekerja, berdiskusi dan berpikir untuk menyelaraskan irama budaya dengan irama pembangunan,” ujar Menteri Muhadjir. Menurutnya, hasil WCF 2016 dapat menjadi komitmen yang lebih mendalam, dan perlu lebih sungguh-sungguh memperhatikan keanekaragaman budaya, agar pusat-pusat pembangunan menjadi lebih inklusif. 

Itulah sebabnya, Republik Indonesia mempersembahkan WCF pada dunia. Semoga bersama-sama, pemerintah negara sahabat, sektor swasta, NGO dan IGO, serta kelompok masyarakat pemangku kepentingan, kita dapat memastikan WCF akan terus hadir bagi kemanusiaan, pungkas Mendikbud. 

Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, mengutarakan bahwa WCF dirancang sebagai platform yang memberi ruang untuk bertukar pikiran dapat merekomendasikan cara baru untuk menempatkan budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan, saling memahami dan menghormati antara kebudayaan yang berbeda, hingga terciptanya masyarakat ‘glokal’ yang harmoni. Maka apa yang telah terjadi pada forum budaya yang berlangsung di Bali ini merupakan rancang-bangun dari apa yang dicanangkan oleh Indonesia selaku tuan rumah perhelatan akbar tersebut. 

Seperti halnya gerakan tari yang memadukan ratusan orang dengan latar belakang negara, bangsa, suku, ras, dan agama yang berbeda, namun tetap merefleksikan suatu keselarasan yang bersatu padu dengan rukun, di bawah payung kebudayaan. Maka WCF adalah bentuk nyata dari filosofi Hamemayu Hayuning Buwana, yang diharapkan dapat memperindah keindahan dunia, dan berupaya melindungi keselamatan dunia, baik lahir maupun batin.

Bali, 13 Oktober 2016

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan