:
Oleh H. A. Azwar, Kamis, 18 Februari 2016 | 12:47 WIB - Redaktur: H. A. Azwar - 502
Jakarta, InfoPublik - Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang tengah dibahas Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mempertegas kehadiran negara dalam memberikan perlindungan bagi para pekerja migran.
Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dakhiri menyatakan rancangan kehadiran negara sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan dan kepastian kepada pekerja migran baik dari hulu ke hilir maupun dari ke luar rumah hingga pulang dan bertindak sebagai pelayan dan bukan pengawal.
Kalau berpikir perspektif dasar, migrasi merupakan hak dan pilihan rakyat. Bekerja atau tidak bekerja di luar negeri itu hak. Saat dia memutuskan kerja di luar negeri, itu hak warganegara. Tugas Negara memberikan kepastian dan perlidungan tenaga kerja di luar negeri, kata Hanif dalam Rapat Kerja dengan Komite III DPD di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/2).
Dalam raker yang dipimpin oleh wakil ketua Komite III DPD RI Fahira Idris dan Charles Simaremare, Hanif menemukakan bahwa, dengan paradigma baru, RUU ke depan memuat hal-hal berbeda dan sarat dengan terobosan dalam memberikan perlindungan dan kepastian kepada pekerja migran sebagai subyek, bukan lagi sebagai obyek dan bekerja di luar negeri sebagai pilihan.
Dalam RUU ini ditekankan pada penyederhanaan tata kelola migrasi sehingga memudahkan para pekerja migran. Yang penting proses orang yang bekerja di luar negeri bisa aman, cepat, murah dan sederhana, tuturnya.
Selain itu, menurut Hanif, dalam RUU PPILN pemerintah akan memperkuat distribusi informasi pasar kerja di luar negeri. Selama ini TKI mengetahui bursa informasi pasar kerja di luar negeri, pemeriksaan kesehatan tenaga kerja maupun pembuatan KTP lebih banyak dilakukan oleh para calo sehingga kerapkali merugikan TKI.
Kepastian adanya distribusi informasi pasar kerja ini sangat dibutuhkan agar TKI tak mudah ditipu oleh para calo yang tidak bertanggung jawab. Kita juga memperkuat standarisasi dan akreditasi kelembagaan yang dijamin pemerintah, termasuk prosedur pemeriksaan kesehatan TKI yang ke luar negeri, ujar Hanif.
Hal lain lanjut dia, yang diperkuat adalah sistem pengawasan dalam setiap prosedur pelayanan penempatan dan perlindungan bagi TKI serta memastikan adanya advokasi (bantuan hukum) bagi para pekerja migran yang bermasalah di luar negeri.
Jauh lebih penting lagi tambahnya, harus diberikan akses bagi TKI untuk diberikan pembinaan pelatihan kerja agar di luar negeri TKI benar-benar memiliki ketrampilan dan kompetensi. Pasalnya kelemahan selama ini, TKI kurang memiliki self defence capacity atau kapasitas pertahanan diri.
Tak heran, jika di luar negeri banyak ditemukan TKI menjadi obyek pemerasan atau TKI yang tak dibergaji hingga lima tahunan.
Masalah tersebut tak akan terjadi, kalau TKI memiliki kapasitas pertahanan diri. Sebab, selama ini proses berangkat kerja ke luar negeri, semuanya dilayani atau menggunakan calo, imbuhnya.
Hanif menjelaskan, UU yang mengatur tata kelola migrasi sebaiknya menetapkan hal-hal bersifat umum dan prinsipil saja. “Aspek-aspek teknis dapat diakomodasi dalam PP atau regulasi lain di bawah UU sehingga apabila diperlukan penyesuaian dapat dilakukan lebih fleksibel sesuai tuntutan keadaan,” jelas Hanif.
Sementara wakil ketua Komite III DPD RI Fahira Idris menyatakan pihaknya mendorong percepatan terbentuknya RUU PPILN dengan mengadopsi prinsip atau paradigma kepastian dan perlindungan pekerja sebagai prioritas.
DPD juga akan mendorong untuk mengakomodasi substansi RUU PPILN menyangkut hal-hal teknis yang dapat mencerminkan kepastian dan perlindungan bagi pekerja migran.
Kita juga mengharapkan optimalisasi kordinasi antar kelembagaan dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan standar kompetensi, sertifikasi profesi dan kerjasama dengan asosiasi di berbagai sektor ketenagakerjaan, kata Fahira.
RUU PPILN merupakan revisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 yang saat ini telah berusia hampir 12 tahun. Rapat kerja Kementerian Ketenagakerjaan dengan komisi IX DPR, Rabu (3/2) akhirnya menyepakati pembentukan panitia kerja (Panja) RUU tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPILN) yang terdiri dari gabungan unsur anggota DPR dan perwakilan pemerintah.
Dalam raker yang dipimpin oleh Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf (FPD), wakil Ketua Syamsul Bachri (FPG), Asman Abnur (FPAN) dan Hj Ermalena (FPPP) itu, Menaker mengatakan sesuai kesepakatan dalam raker sebelumnya ditetapkan pembahasan Panja akan selesai dalam dua kali masa persidangan tahun ini.