Kemenkumham : Proses Penyusunan KUHP Bukan Perkara Mudah

:


Oleh Eko Budiono, Kamis, 27 Mei 2021 | 20:58 WIB - Redaktur: Untung S - 155


Jakarta, InfoPublik - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI menyatakan proses penyusunan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) di negara yang penuh dengan keberagaman, seperti Indonesia bukan perkara mudah.

Hal tersebut  disampaikan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej, melalui keterangan tertulisnya, usai pada diskusi bertajuk "apakah pembaruan KUHP sudah berdasarkan konstitusi negara Republik Indonesia secara virtual di Jakarta, Kamis (27/5/2021).

"Di negara yang multi-etnis, multi-agama dan multikulturalisme bukan lah suatu perkara yang mudah," kata  Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej.

Menurutnya, setiap isu yang akan dibahas atau dituangkan dalam KUHP akan memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat, sebagai contoh isu pidana mati.

Wamenkumham menegaskan, secara teoritik dua paradigma akan berdiri dan berlawanan secara diametral. Bagi paradigma abolisionis yang ingin menghapus pidana mati mempunyai dasar argumentasi yang cukup kuat.

"Sama halnya dengan kelompok yang menganut paham retensionis atau ingin mempertahankan pidana hukuman mati juga memiliki dasar argumentasi yang kuat," kata Wamenkumham.

Ketika persoalan pidana mati dibahas maka tidak jarang terjadi kontroversi di tengah masyarakat. Bagi kalangan pegiat antikorupsi selalu menyuarakan koruptor layak dijatuhi hukuman mati.

Menurut Wamenkumham,  bagi kalangan atau pegiat HAM sudah pasti akan menolak pidana hukuman mati tersebut. Dalam kondisi itu, maka pemerintah terutama pemangku kepentingan harus bisa mencarikan solusi terbaik.

"Dimana pidana mati tidak menjadi pidana pokok tetapi pidana khusus," ujar Wamenkumham.

Ia menyebutkan, kekhususan yang dimaksud ialah pertama dijatuhkan secara selektif dan dijatuhkan dengan percobaan.
 
Sebagai contoh terpidana dijatuhkan hukuman pidana mati, jika selama kurun waktu itu berkelakuan baik maka memungkinkan pidana mati diubah menjadi pidana seumur hidup atau kurungan penjara 20 tahun.

"Ini contoh membuat KUHP di negara multi-etnis, banyak kebudayaan dan banyak agama, tidak semudah membalikkan telapak tangan," kata Wamenkumham.

(Foto: ANTARA)