Ketua DPR Nilai Ekonomi Indonesia Relatif Stabil

:


Oleh Wandi, Minggu, 30 Desember 2018 | 09:11 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 371


Jakarta, InfoPublik - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memberikan sejumlah catatan refleksi sepanjang tahun 2018. Ia memberikan perhatian khusus pada sektor ekonomi. Menurutnya, meski banyak tantangan, namun situasi ekonomi relatif stabil. Sepanjang tahun 2018, Indonesia bersama banyak negara lain sedang menghadapi potensi ketidakseimbangan (disequilibrium) baru akibat kebijakan pengetatan moneter di negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS) dan juga perang dagang AS versus China.

 

Sikap kurang bersahabat Presiden AS Donald Trump terhadap World Trade Organization (WTO) turut berperan dalam keseimbangan perekonomian global. Di sisi lain, langkah bank sentral AS, Federal Reserve (Fed) menaikkan Fed Fund Rate (FFR) berdampak pada depresiasi rupiah. Nyaris sepanjang tahun ini, masyarakat melihat penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

 

“Rupiah bahkan sempat mencapai level terendah dalam 20 tahun terakhir, ketika pada hari transaksi Selasa 2 Oktober 2018 ditutup pada level Rp 15.042,05 per dolar AS di pasar spot Bloomberg,” papar Bamsoet, sapaan akrab Ketua DPR RI, dalam rilisnya Kamis (27/12).

 

Untuk mereduksi ekses dari ketidakseimbangan baru itu, Indonesia memang harus melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi. Salah satunya adalah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6 persen, sehingga membawa rupiah kembali menguat terhadap dolar AS. Kendati demikian, rupiah masih berpotensi mendapatkan tekanan jika Fed menaikkan lagi FFR pada 2019.

 

Bamsoet menuturkan, ketidakpastian perekonomian global sepanjang tahun 2018 masih akan berlanjut di tahun 2019. Penyesuaian kebijakan oleh Pemerintah Indonesia menjadi sebuah keharusan. “Jika penyesuaian tidak segera dilakukan, Indonesia justru akan terlihat konyol. Sebab, ketidakpastian ekonomi global itu akan menghadirkan beberapa dampak, yang langsung maupun tak langsung, akan membuat banyak orang tidak nyaman,” kata Bamsoet.

 

Legislator Partai Golkar itu menambahkan, DPR RI mengapresiasi pemerintah yang telah menginisiasi langkah pertama dari upaya penyesuaian kebijakan itu,dengan menaikkan tarif Pajak Penghasilan ( PPh) impor atau PPh pasal 22 atas 1.147 komoditas atau produk.

 

Selain itu, dinamika di sejumlah sektor dan sub sektor akan terus mempengaruhi perekonomian nasional, sehingga pemerintah perlu menyiapkan langkah mitigasi. Seperti diketahui bersama, Fed berencana masih akan menaikan FFR hingga paruh pertama 2019. Potensi tekanan terhadap perekonomian nasional bertambah karena ada niat AS mengeskalasi perang dagang.

 

“Kendati nilai tukar rupiah menguat sejak awal pekan ketiga November 2018, pemerintah dan BI harus tetap antisipatif. Nilai tukar valuta masih akan fluktuatif karena pasar uang terus dibayang-bayangi oleh rencana Fed menaikkan FFR. Antisipasi sangat diperlukan untuk meminimalisir potensi arus keluar dana asing,” paparnya.

 

Pada November 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat neraca perdagangan RI mengalami defisit 2,05 miliar dolar AS. Untuk menyehatkan neraca perdagangan, DPR mendorong pemerintah untuk lebih berani mengendalikan impor sejumlah produk elektronik, alas kaki, tas dan koper hingga peralatan rumah tangga dan peralatan kantor.

 

Selama ini, bersama produk migas dan bahan pangan, impor produk elektronik, alas kaki hingga peralatan rumah tangga dan kantor tercatat sebagai kontributor terbesar dari total nilai impor sejak tahun 2017. Padahal, sebagian dari produk tersebut sudah dibuat di dalam negeri. Karenanya, produk-produk impor tersebut patut dibebankan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 yang lebih besar dari yang ditetapkan sekarang.

 

“Karena itu, langkah-langkah pengendalian impor yang lebih berani sangat diperlukan guna mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan. Dengan turunnya harga minyak, neraca perdagangan berpotensi surplus pada akhir 2018, dengan catatan Jika impor produk lain bisa lebih dikendalikan,” imbau legislator dapil Jateng VII itu.

 

Seperti halnya depresiasi rupiah, besaran Utang Luar Negeri (ULN) juga terus menjadi perhatian masyarakat. Menurut catatan BI yang dipublikasikan pada Selasa (17/12/), ULN pada akhir Oktober 2018 tercatat 360,5 miliar dolar AS. jika dikonversi dengan kurs Rp 14.500 per dolar AS, besaran ULN itu sudah mencapai Rp 5.227 triliun.

 

Pemerintah memastikan bahwa volume ULN itu masih dalam batas wajar dan aman. Dalam arti, negara masih sangat mampu membayar ULN, karena rata-rata pertumbuhan ekonomi 5 persen, sementara total pinjaman dari luar pada kisaran 2 persen dari tingkat pertumbuhan. Volume ULN dipastikan akan menurun seiring dengan mulai beroperasinya sejumlah proyek infrastruktur yang telah dibangun.