Laporan Tahunan 2021 – Komitmen Pemerintah untuk Ekonomi Hijau

:


Oleh Wahyu Sudoyo, Rabu, 20 Oktober 2021 | 15:26 WIB - Redaktur: Untung S - 487


Jakarta, InfoPublik - Krisis pandemi COVID-19 menjadi momentum pemerintah untuk menata ulang bangunan ekonomi secara lebih berkelanjutan, menjadi lebih mengacu pada pelestarian lingkungan atau pro lingkungan. Sehingga bisa turut mengatasai perubahan iklim secara global.

Potensi kekayaan alam tropis Indonesia seperti hutan tropis dan mangrove tanah air yang begitu luas dan menyegarkan paru-paru dunia, memperkuat komitmen terhadap energi terbarukan.

Hal tersebut tertuang dalam laporan "Capaian Kinerja 2021, Indonesia Tangguh-Indonesia Tumbuh" yang diluncurkan tepat pada dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo - Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin, Rabu (20/10/2021).

Penguatan teknologi hijau serta produk ramah lingkungan menjadi faktor utama yang meningkatkan daya saing nasional.

Semuanya dirangkum dalam prioritas nasional keenam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni, peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon.

Dalam setiap kesempatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutananan (Menteri LHK), Siti Nurbaya, menegaskan bahwa pemerintah Republik Indonesia telah berkomitmen dan memiliki kebijakan pemulihan ekosistem hingga 2030.

Kebijakan tersebut berupa terobosan regulasi dalam Undang-undang (UU) Cipta Kerja, yang menjadi bagian dari langkah-langkah progresif menuju visi “Living In Harmony With Nature” pada 2050.

“Pemerintah Indonesia berkomitmen dan telah memiliki kebijakan pemulihan ekosistem hingga 2030,” kata Menteri LHK.

Anggaran Untuk Perubahan Iklim

Laporan ini mengungkapkan, perubahan iklim butuh dukungan dan komitmen kuat untuk mitigasi hingga adaptasi, yang sudah disusun pemerintah dalam rencana jangka panjang hingga 2024.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dinilai dapat berperan sebagai instrumen fiskal yang mendorong transformasi ekonomi hijau.

Second Biennial Update Report (2nd BUR) 2018 memperkirakan, Indonesia butuh dana pengendalian perubahan iklim sebesar Rp3.461 triliun hingga 2030.

Kendati anggaran tersebut sangat besar, tetapi pemerintah memprioritaskan penanganan pandemi dengan mencadangkan 34 persen kebutuhan tersebut dari APBN, yang masih berpotensi untuk ditambah kedepannya.

“Pemerintah Indonesia juga mendorong partisipasi aktif para pemangku kepentingan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati melalui skema perhutanan sosial dan kemitraan,” imbuh Menteri LHK.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), selama lima tahun terakhir, 88,1 persen dari total anggaran perubahan iklim Indonesia dibelanjakan dalam bentuk infrastruktur hijau (green infrastructure) untuk menjadi penggerak sekaligus modal utama transformasi ekonomi hijau.

Pemerintah telah menerbitkan Sukuk (obligasi syariah) Hijau sebagai instrumen pembiayaan proyek ini yang kompatibel.

Kemenkau mencatat akumulasi Sukuk Hijau (Green Sukuk) mencapai mencapai US$3,24 miliar (sekitar Rp45,6 triliun), yang terdiri atas Green Sukuk Global sebesar US$2,75 miliar (sekitar Rp38,7 triliun) pada 2018-2020  Green Sukuk Retail US$490,1 Juta (sekitar Rp6,9 triliun) pada 2019-2020.

Kawal Perubahan Iklim

Laporan tersebut juga menyatakan pemerintah terus bergerak mengawal bahaya perubahan iklim, sebagai pemilik cadangan karbon terbesar, yakni 75 -80 persen, dari total stok karbon dunia.

Sumber kekayaan karbon ini berasal dari hutan, gambut, mangrove hingga padang lamun.

Mangrove memberi kontribusi tiga persen, Hutan tropis 30 persen dan lahan gambut 67 persen.

Dengan modal kekayaan karbon tersebut, kalkulasi Natural Climate Solution (NCS) mencatat potensi penurunan emisi karbon Indonesia sebesar 1,47 gigaton CO2e per tahun.

Pemerintah juga terus melakukan langkah utama menjaga cadangan karbon dengan mengubah paradigma pengelolaan hutan, restorasi lahan gambut hingga rehabilitasi hutan mangrove.

Saat ini tercatat ada 16 unit manajemen yang merestorasi hutan produksi seluas 622.861 hektare (Ha) dan memulihkan lahan sebesar 4,69 juta Ha, termasuk gambut dan mangrove.

Kurangi Emisi

Untuk mencapai target emisi nol karbon sebagaimana tuntutan dunia Indonesia harus bekerja keras.

Pemerintah harus mengerahkan banyak sektor, karena masing-masing memiliki kontribusi yang berbeda-beda.

Sektor energi adalah yang paling banyak menyumbang emisi gas rumah kaca dibandingkan sektor lainnya.

Oleh karena itu pemerintah menerapkan dua strategi utama mengurangi emisi karbon di sektor energi, yakni meningkatkan produksi Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan mengoptimalkan sumber daya dalam negeri.

Misalnya program bahan bakar nabati di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomass (PLTBm).

Selain itu, pemerintah juga meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi dengan mengurangi emisi seperti penghentian penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang masuk usia pensiun, co-firing PLTU dengan biomassa, konversi pembangkit diesel ke Energi Baru Terbarukan dan Gas Bumi, hingga pada percepataan implementasi kendaraan listrik.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), juga telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK), Alue Dohong, menjelaskan strategi itu merupakan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), untuk menjamin tercapainya tujuan Paris Agreement (PA) dalam menahan kenaikan suhu global.

“Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28H yang menyatakan bahwa negara harus menjamin kehidupan dan lingkungan yang layak bagi warga negaranya, yang kemudian mendasari komitmen Indonesia untuk perubahan iklim,” ujar Wamen LHK.

Strategi jangka panjang tersebut adalah dengan meningkatkan ambisi pengurangan GRK melalui pencapaian puncak emisi GRK nasional pada 2030.

Foto: Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melakukan penanaman mangrove di kawasan wisata Raja Kecik, Desa Muntai Barat, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis, Riau, Selasa (28/9/2021). ANTARA FOTO/Alfisnardo/foc.