:
Oleh Dian Thenniarti, Selasa, 27 April 2021 | 21:31 WIB - Redaktur: Wawan Budiyanto - 1K
Jakarta, InfoPublik - Selain isu kekerasan terhadap perempuan, isu hoaks di masa pandemi merupakan hal yang juga cukup meresahkan. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemKominfo) mencatat ada lebih dari 2.000 hoaks terkait COVID-19 di sepanjang 2020.
Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (IKPMK) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Wiryanta mengatakan, dengan edukasi literasi digital terhadap kaum perempuan diharapkan perempuan dapat memanfaatkan digital untuk melindungi dirinya dan keluarganya, terlebih di masa pandemi ini ketika banyak aktivitas dan layanan publik bergantung pada teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
"Seperti bagaimana cara melaporkan kasus KDRT atau kekerasan lainnya, bagaimana cara mengecek fakta hoaks, cara mendapatkan program bantuan COVID-19 dari pemerintah dan lain sebagainya," ujarnya dalam Forum Dialog bertema "Perempuan Digital Lindungi Keluarga" yang diselenggarakan Kemkominfo, Selasa (27/4/2021) secara tatap muka dan daring.
Sementara itu, Komite Edukasi Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Heni Mulyati mengemukakan, ada kecenderungan perempuan menyebarkan hoaks tanpa memeriksa fakta.
"Sekarang tidak hanya tv, koran, dan media namun orang juga bisa menjadi sumber informasi," ujarnya.
Lebih lanjut Heni menjabarkan, hoaks merupakan kekacauan informasi yang sering dipahami sebagai misinformasi dan disinformasi. Misinformasi adalah informasi yang tidak benar namun orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi tersebut benar tanpa bermaksud membahayakan orang lain. Seringkali informasi seperti ini disebar tanpa ada verifikasi dari ahli atau pihak yang berwenang dan disebarkan justru dengan maksud yang baik, supaya orang lain tidak mendapat masalah atau terlibat dalam bahaya.
Kemudian disinformasi, yaitu informasi yang tidak benar dan orang yang menyebarkannya juga tahu kalau itu tidak benar. Informasi ini merupakan kebohongan yang sengaja disebarkan untuk menipu, mengancam, bahkan membahayakan pihak lain.
Namun masih ada satu bentuk kekacauan informasi lainnya, yakni malinformasi. Informasi ini adalah informasi yang benar namun digunakan untuk mengancam keberadaan seseorang atau sekelompok orang dengan identitas tertentu. Atau dengan kata lain ini adalah sejenis hasutan kebencian. Misalnya, hasutan kebencian terhadap kelompok minoritas agama.
Oleh karena itu, Heni mengajak kaum perempuan untuk berhenti dan kenali cara menangani hoaks dengan langkah Fake Checking melalui kegiatan STOP HOAX (See, Think, Observe, Prevent and Publish).
1. See – Lihat dulu keseluruhan isi berita sebelum menyebarkan;
2. Think – Ketika hoax muncul, cari tau motif di belakangnya;
3. Observe – Cek kembali kebenaran berita. Beberapa aplikasi di smartphone sudah bisa diunduh untuk mendeteksi hoaks, salah satunya aplikasi Hoax Buster Tools (HBT Tools);
4. Prevent and Publish – Mencegah penyebaran hoaks dengan memperbanyak konten positif di sosial media.
"Jika kita sudah tau berita yang kita terima adalah hoaks, jangan ragu beritahu orang lain," katanya.
Heni berharap dengan adanya kegiatan ini, fake checking bisa jadi kebiasaan sehingga setiap orang bisa jadi agen anti hoaks.