Fenomena Tabrak Belakang, Saatnya Penegakan Aturan Batas Kecepatan Diberlakukan

:


Oleh Dian Thenniarti, Senin, 4 Maret 2019 | 13:46 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 778


Jakarta, InfoPublik - Pengamat transportasi publik, Djoko Setijowarno menilai, penegakkan Peraturan Menteri Nomor 111 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Batas Kecepatan yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan oleh Kepolisian sudah saatnya diberlakukan.

Hal tersebut disampaikan Djoko menanggapi kejadian tabrak belakang truk yang dalam seminggu terakhir ini sampai dua kecelakaan terjadi, yakni di KM 349 Tol Batang, meninggal satu orang, serta KM 604 Tol Madiun meninggal 3 orang seketika. Kejadian di Tol Batang bahkan melibatkan kendaraan yang membawa Bupati Demak. 

"Terhubungnya Tol Trans Jawa diharapkan dapat melancarkan logistik. Namun yang kurang dipahami adalah truk barang di Indonesia tidak dirancang kecepatan tinggi. Terlebih jika membawa barang, lajunya tidak bisa lebih dari 40 km per jam," kata Djoko akhir pekan (3/3).

Penetapan batas kecepatan ini, lanjut dia, dimaksudkan untuk mencegah kejadian dan fatalitas kecelakaan, mempertahankan mobilitas lalu lintas, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat.

"Batas kecepatan paling rendah 60 km per jam dan paling tinggi 100 km per jam untuk jalan bebas hambatan (termasuk di dalamnya jalan tol). Sedangkan di jalan antar kota, seperti jalan pantura maksimal 80 km per jam, untuk jalan kawasan perkotaan paling tinggi 50 km per jam, dan maksimal 30 km per jam untuk jalan kawasan permukiman," jelas Djoko.

Tidak hanya itu, menurut Djoko, jalan tol juga perlu dilengkapi kamera pemantau kecepatan (speed camera) untuk membantu Polisi Lalu Lintas melakukan tindak pelanggaran (tilang) terhadap pelanggar batas kecepatan. 

"Padahal, ditepi jalan tol sudah banyak dipasang rambu batas kecepatan maksimal dan minimal. Akan tetapi tidak pernah dipatuhi pengguna tol, bahkan dengan bangganya, pengguna tol melaju dengan kecepatan tinggi, seolah jalan tol sirkuit balapan mobil," ungkap Djoko prihatin. 

Djoko juga meminta agar edukasi terhadap pengemudi pengguna tol digalakkan. "Jalan tol yang nyaman dapat mengakibatkan micro sleep. Micro sleep terjadi kisaran 4 hingga 5 detik yang jika terjadi kecelakaan bisa fatal. Oleh sebab itu, setiap 2-3 jam berkendara di jalan tol, pengemudi harus beristirahat di rest area yang sudah tersedia di sepanjang tol atau memilih keluar tol mencari rumah makan untuk beristirahat sejenak barang 30 menit. Kendaraan pun perlu beristirahat untuk menghindari pecah ban," jelas dia. 

Waktu kerja pengemudi, lanjut dia, juga sudah diatur dalam pasal 90 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, yaitu 8 jam sehari. Jika mengemudi 4 jam berturut turut wajib beristirahat minimal 30 menit. Namun dalam hal tertentu dapat mengenudi paling lama 12 jam sehari termasuk waktu istirahat selama 1 jam.

Untuk mobil bus dan truk, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sudah menerbitkan aturan Alat Pemantul Cahaya tambahan (APCT). Tetapi baru berlaku 1 Mei 2019 untuk bus dan truk yang baru mau operasional. Sementara untuk mobil dan truk yang sudah operasional berlaku mulai 1 September 2019. 

Harapannya dengan APCT, dapat mengurangi tabrak dari belakang terutama di malam hari. Karena ada pantulan cahaya dari mobil tersebut. 

"Karena itu, penegakan aturan yang sudah dikeluarkan Kementerian Perhubungan oleh Kepolisian sudah saatnya diberlakukan," imbuh Djoko.