:
Oleh H. A. Azwar, Rabu, 23 November 2016 | 10:59 WIB - Redaktur: Gusti Andry - 610
Bogor, InfoPublik - Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Muhammad Hanif Dhakiri meminta buruh tidak ikut aksi demo atau melakukan mogok kerja di perusahaan masing-masing pada saat dinamika politik nasional sedang menghangat.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berencana melakukan mogok nasional pada 2 Desember 2016, dibarengkan dengan rencana aksi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI Jilid 3. Menaker mengkhawatirkan keterlibatan buruh dalam aksi tersebut hanya akan memperkeruh suasana politik yang malah merugikan buruh sendiri. “Saya mengajak teman-teman buruh untuk fokus bekerja dan tidak usah ikut dalam politik yang sedang menghangat akhir-akhir ini. Enggak menyelesaikan masalah, malah bisa nambah keruh suasana. Dalam situasi seperti sekarang ini, semua pihak, termasuk serikat buruh, seyogyanya ikut menebarkan kesejukan, ketenangan dan kerukunan,” paparnya di sela-sela pembukaan Kongres Perkumpulan Sawit Watch di Bogor, Selasa (22/11).
Menurut Menaker, pemerintah tidak alergi dengan demostrasi. Unjuk rasa maupun mogok adalah hak buruh. Meski demikian, pelaksanaan mogok dan unjuk rasa buruh harus sesuai koridor aturan yang ada. Di samping itu, perlu juga dipertimbangkan segi manfaatnya bagi buruh itu sendiri. Jangan sampai gerakan buruh justru merugikan buruh, yang justru membuat buruh malas berserikat.
Mogok nasional itu ‘nggak ada’, yang ada adalah mogok di perusahaan. Tapi, mogok sah dilakukan jika perundingan gagal. Jadi, saya minta tolong pimpinan buruh jangan mengada-ada. Jangan politisasi buruh untuk kepentingan lain di luar agenda buruh dalam hubungan industrial. Serikat buruh fokus saja pada isu-isu perburuhan.
Menaker berharap, gerakan buruh terus menguat, sebagai bagian strategi perjuangan meningkatkan kesejahteraan. Salah satu indikator menguatnya gerakan buruh adalah apabila jumlah buruh yang berserikat dan jumlah serikat buruh di perusahaan bertambah.
Masalahnya, data Ketenagakerjaan menunjukkan, terjadi penurunan jumlah buruh yang bergabung dalam serikat. Tiga tahun lalu jumlah buruh yang berserikat mencapai 4.3 jutaan. Tahun ini turun menjadi 2,7 jutaan. Jumlah serikat buruh di perusahaan yang semula mencapai 14 ribuan, turun menjadi 7 ribuan. Sementara pada saat yang sama, jumlah federasi dan konfederasi serikat buruh terus bertambah yang menandai tingginya polarisasi dalam gerakan buruh. “Data tersebut cukup memprihatinkan. Ini perlu jadi perhatian bersama agar gerakan buruh makin kuat dan focus,” beber Menaker.
Tentu ada banyak faktor yang menjadi penyebab menurunnya partisipasi buruh dalam serikat dan berkurangnya jumlah serikat buruh dalam perusahaan. Boleh jadi, kata Hanif, salah satu penyebabnya adalah kuatnya tarikan politik dalam gerakan buruh yang akhirnya malah mendemoralisasi buruh itu sendiri.
Buruh bisa terdemoralisasi dan malas berserikat kalau pimpinan serikat buruhnya sibuk berpolitik dan masuk ke isu-isu non-buruh. Saran saya, fokus sajalah ke agenda-agenda perburuhan. Jangan jadi palugada unions alias serikat ‘apa lu mau gua ada’. "Kasihan pekerja/buruh yang sudah bayar iuran ke serikat," jelas Hanif.
Ia menambahkan bahwa penciptaan lapangan kerja hanya dimungkinkan apabila suasana politik kondusif. Oleh karenanya, ia mengajak serikat buruh dapat membantu menyejukkan suasana politik, sehingga yang sudah bekerja dapat nyaman bekerja dan yang belum bekerja bisa mendapatkan pekerjaan.